Part - 1
GENESIS
GENESIS
Aku dibenci dan dimusuhi. Dikutuk dari zaman ke zaman. Maaf, seandainya tak turun kitab suci, aku yakin sanggup memerintahkan seluruh makhluk hidup bersimpuh dibawah kaki. Bahkan, ya seandainya tidak ada kitab suci, aku yakin sanggup mempermaklumkan diri sebagai satu-satunya Dzat yang pantas alias disembah.
IBLIS
Sayangnya Tuhan menurunkan kitab suci. Membuat semua yang gelap menjadi terang. Yang samar menjadi jelas, yang terang tak tergoyahkan. Akhirnya seluruh akal bulusku seakan-akan terekam pita seluloit dalam kitab suci itu. Semuanya bisa terbaca. Sehingga banyak rencanaku tak jadi berantakan.
Ingin tahu siapa kau? Akh, aku yakin semua tahu siapa aku. Akulah, ya akulah Iblis. Tahu bukan? Dari yang paling tahu sampai yang tolol terhadap isi kitab suci, dapat dipastikan tahu diriku. Kitab suci Tuhan telah dengan rinci menelanjangi jati diriku. Nah, malu kah? Coba bayangkan seluruh kitab suci - ini juga termasuk kitab suci yang sudah tak suci lagi dari intervensi - melaknatku sebagai makhluk terkutuk.
Ingin tahu siapa kau? Akh, aku yakin semua tahu siapa aku. Akulah, ya akulah Iblis. Tahu bukan? Dari yang paling tahu sampai yang tolol terhadap isi kitab suci, dapat dipastikan tahu diriku. Kitab suci Tuhan telah dengan rinci menelanjangi jati diriku. Nah, malu kah? Coba bayangkan seluruh kitab suci - ini juga termasuk kitab suci yang sudah tak suci lagi dari intervensi - melaknatku sebagai makhluk terkutuk.
Ces’t la vie! Percayalah, inilah nasib.
Ada yang menyebutku Lucifer. Mengapa? Karena sesungguhnya ada yang beranggapan dahulu aku termasuk diantara bangsa malaikat. Bagaimana ini? Tidak betul. Aku jelas bukan bangsa itu. Tuhan menciptakan malaikat dari cahaya. Sedangkan aku diciptakan dari inti api. Malaikat adalah makhluk yang diciptakan dengan takdir pengapdian reserve. Sedangkan aku, malu untuk mengatakannya.
Hehehe …………
Hehehe …………
Jangan kecewa dulu. Akhirnya toh aku harus mengatakan juga. Tuhan sudah menurunkan kitab suci. Mau tak mau aku harus mengakui bahwa aku memang makhluk dengan citra pribadi api. Penuh gelegak, gejolak, dan napas. Coba saja raba dada. Dapat dipastikan betapa dasyatnya degup jantungku. Ya, didadaku tersimpan pelbagai hasrat yang menyala. Tertanam semenjak zaman azali. Semangat api! Api!
Dan api!
Dan api!
Sampai detik ini, aku sering merenungkan arti sebuah misteri penciptaan. Dari kekelaman alam semesta, jauh dari jangkauan cahaya bintang gemintang, aku tenggelam dalam ke tertegunan permenungan abadi.
Mengapa aku dibenci dan dimusuhi. Dikutuk dari zaman ke zaman. Namun, pertanyaanku terjawab oleh bisu. Menghablur di hamparan jagad raya bagaikan taburan nebula. Mengapa, ya mengapa hanya karena disebabkan perbedaan esensi penciptaan, takdir telah menghempaskan aku ke jurang nasib yang paling tragis ………?
Jagad Raya
Dari zaman ke zaman, dari sudut ke sudut jagad raya, aku mengarungi alam semesta dengan membawa rasa penasaran. Aku mengarungi jagad nasibku semenjak awal penciptaan, sehingga sayap-sayapku meremah di makan zaman dan kefanaan.
Tetapi, percayalah, aku tak sanggup lagi menyediakan kesedihan dan tangisan. Kedahsyatan takdirku adalah rangkaian puisi praha dan huru-hara. Membuat aku lupa kesedihan dan tangisan. Jantungku terlanjur penuh api: penasaran dan murka. Kepedihan luka hatiku akan sanggup merontokkan kelopak-kelopak bunga pertamanan yang aku lalui; membakar rerumputan disetiap padang yang kudatangi; sanggup pula menghanguskan setiap hutan dan gunung yang ku singgahi. Jeritan batinku akan sanggup menggelorakan badai. Dan air mataku pun akan sanggup menjelma menjadi air bah. Aku telah mengalami metamorfosis menjadi makhluk prahara karena luka hati.
Sampai detik ini, ya, aku terus mengarungi jagad raya membawa misteri penciptaan.Maafkan aku. Aku memang Iblis. Dibenci dan dimusuhi. Dikutuk dari zaman ke zaman. Aku memang makhluk pengibar bendera revolusi kemungkaran. Pembawa kerusakan tak pernah membawa kebaikkan. Akulah pengembara kekelaman. Melesat di keluasan jagad raya. Mengintip dan merencana. Menabur prahara dan huru-hara. Walaupun murka Tuhan senantiasa membayangi setiap kemungkaran.
Namun, jauh direlung hatiku yang lebih dalam dari jantung alam semesta ini, aku tahu kemungkaran Tuhan kepadaku bukan karena aku mengingkari ke-berada-an-Nya. Telingaku telah merekam firman sabda-Nya . Hatiku masih menyimpan Ke-tauhid-an yang paling murni bahwa hanya Dia yang Maha ada dan Maha Tunggal.
Kemurkaan Tuhan karena pembangkanganku enggan melaksanakan sabda-Nya. Ya, bagaimana bisa aku harus bersujud kepada makhluk Adam. Makhluk yang lebih rendah esensinya daripada aku.
Bukankah aku di ciptakan dari api. Sedangkan Adam hanya dari sekepal tanah. Tidakah sepantasnya sujudku hanya keperuntukkan kepada Dia Sang Maha Kekasih. Salahkah, salahkah aku, salahkah aku ……..?
Aku lari ke sudut-sudut jagad raya. Membawa kecewa dan rasa dendam. Aku lari karena membawa harga diri. Inilah yang penting: bagaimana mungkin aku hidup tanpa harga diri …………? Tidak! Aku tak sudi sujud kepada nenek moyang manusia itu. Semata-mata ia lebih rendah derajatnya daripadaku. Salahkah, salahkah aku, salahkah aku…….?
Gugusan Galaksi
Dari kumparan kurun zaman , di antara gugusan galaksi yang terbesar di seantero jagad raya, pertanyaanku itu bergaung sampai berabad-abad lamanya, sampai menghablur bagaikan taburan nebula. Dan pertanyaanku ternyata terjawab oleh pertanyaan pula. Aku kecewa dan frustasi.
Akhirnya, dalam pengembaraanku yang tiada hentinya itu, memberiku satu kesimpulan: Tuhan menghukumku bukan karena kesalahanku membangkang sujud kepada Adam. Namun karena aku enggan memberikan pengabdian mutlak kepada-Nya sebagai Penguasa Tunggal.
Kesimpulan itu, justru membuatku lebih gila dan luka hati. Mengapa cobaan pengabdianku kepada-Nya harus dengan jalan merobek-robek harga diri.
Bagaimana mungkin hidup terhormat apabila ketiadaan rasa harga diri. Kecuali akan menjadi serendah-rendahnya makhluk. Aku tak patut bersujud kepada yang lebih rendah.
” Karya Herly Sauri “