Part - 11
“Ancaman siapa?” tanyakku penasaran. Sejurus aku diam. Memang kuakui, sebagai orang kaya, mempunyai kedudukan, berpengaruh di masyarakat, tak bisa tidak Zalbak pasti punya seteru dan saingan. Tak mustahil ancaman terhadap keslamatan pasti datang setiap saat.
Namun bukankah orang-orang Zalbak sudah banyak, mengapa sekarang harus susah-susah mencari pengawal baru lagi?
“Ancaman siapa, Morgin?”
“Masa, Bos tak ingat penjelasan Pak Domokus?”
“Sialan kau, Morgin kunyuk!” aku kesal dengan ketololannya. Kusambar kerah jaket kulitnya. Kutarik wajahnya ke dekatku. Eh, bau juga wajah monyet besar itu. “Yang mengancamku sekarang?”
Namun, sekarang Morgin bertambah tolol kelihatannya.
“Kau bisa bicara, Morgin?”
“Bisa, Bos!”
“Katakan, sekarang siapa yang mengancamku!”
“Menurut Pak Domokus?”
“Tak peduli dari monyet atau tokek, katakan saja!” bentakku tak sabar. Aku suka murka memang.
“Menurut Pak Domokus,” sahut Morgin dengan mengusap keningnya yang mulai berkeringat. Seakan-akan yang akan di ucapkan itu merupakan sebuah beban menakutkan. Dan matanya pun melirik kesegenap penjuru. Seperti takut kata-katanya akan di dengar pihak lain. “Pengancam ini tidak main-main. Betul-betul merupakan ancaman serius. Karena mengincar keslamatan Bos tidak bisa di tangkal dengan kekuatan manusia biasa”.
“Mengapa begitu?” dadaku berdeba-debar. Kiranya Pak Domokus sudah meramalkan kehadiranku. “Coba jelaskan. Jangan seperti orang tolol begitu!”
“Habis aku takut betul, Bos!” jawab Morgin sambil mengeluh. “karena menurut Pak Domokus, yang mengancam Bos itu makhluk halus prahara dan huru-hara, menciptakan kerusakan dan mengobarkan peperangan!”
Seketika itu aku tersentak. Aku berdiri. Mataku tajam menatap Morgin. Namun, Morgin pun menatapku. Aku berbalik. Aku tidak ingin riak wajahku terbaca olehnya.
“Kalau begitu, siapa sebenarnya pengancam itu, Morgin?” pancingku tanpa menoleh ke arahnya. “Coba katakan pendapatmu!”
Kembali Morgin menunjukkan kecemasan. Berkali-kali ia meraba keningnya yang berkeringat dingin.
“Bos, aku, aku tak sanggup mengatakannya lagi!”
“Jangan membuatku murka, Morgin!” teriakku tak dapat lagi mengendalika kejengkelan. “Cepat katakan seperti yang ku minta!”
“Baik, baik, baik Bos!”
Aku sungguh-sungguh di buat dongok oleh sikap tengik Morgin. Ketakutannya membuatnya lebih bebal. Tanganku mengibaskan sebuah cangkir. Benda kaca itu melayang dan terlempar ke dinding. Bunyi gemericing gelas yang pecah berantakan memenuhi ruangan. Morgin tampak semakin gugup dan berkeringat.
“Katakan cepaaat. Dungu!”
“Baik, Bos,” sahut Morgin gugup. “Pengancam maut itu menurut Pak Domokus datang dari kegelapan.
Karena ia tak lain dan tak bukan pejelmaan Iblis langsung!”
Dadaku bagai berhenti berdetak. Ramalan jitu Domokus seperti sebuah palu godam yang sanggup menghentikan degup jantungku. Untuk kesekian kalinya dalam batinku mengakui bahwa ciptaan Tuhan dari liat itu memeliki kelebihan istimewa. Mereka dapat mengetahui hal-hal gaib. Termasuk kehadiranku kini!
Untuk beberapa saat lamanya, aku bungkam. Pikiran menerawang tak menentu. Morgin tampak termangu-mangu mengawasi gerak-gerikku. Namun, kubiarkan orang bebal itu tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Bos,” ucap Morgin memecahkn kebisuan,”apa aku masih dibutuhkan.”
“Ya, kau masih kubutuhkan!’
“Baiklah, Bos!”
“Antarkan aku ke tempat tinggal Domokus!”
*****
Morgin menyuruh sopir pribadi Zalbak mempersiapkan mobil. Dalam sekejap aku telah bersiap-siap untuk pergi.
Dengan memakai kacamata gelap aku keluar kamar. Aku menyadari sepenuhnya, ibarat sebuah cermin mata adalah gambaran jiwa si empuhnya. Dan aku khawatir, orang-orang akan membaca bahwa di dalam tubuh Zalbak tersembunyi jiwa kegelapan. Itu tak boleh terjadi, aku harus menyembunyikan di balik kacamata gelap.
Di ruang tengah, aku tak menjumpai kelebat Donyanyin sama sekali. ke mana perempuan itu perginya? Sebelum aku sempat bertanya, kepala pelayan telah menghampiri.
“Nyonya Besar sedang keluar, Tuan!”
Aku mendengus. Sejenak aku berdiri termangu-mangu. Ada sebuah kelebat pikiran melintas. Sebentar kemudian, aku tersenyum menemukan sebuah siasat.
“Siapa namamu, kepala pelayan?”
Tampak kepala pelayan itu menunjukkan wajah tololnya. Barangkali, ia heran, bagaimana mungkin aku bisa melupakan namanya.
“Namaku, Tuan?”
“Ya, namamu, ‘’sahutku tak acuh,” masalah aku sering tak mengingat nama-nama orang tolol. Kalau kau ku anggap sebagai orang penting, tolong ingatkan lagi siapa namamu?”
Baru orang itu tersenyum. Barangkali gembira ku anggap sebagai orang penting. Serta-merta wajah masamnya berubah cerah.
“Namaku Pegas, Tuan!” katanya mantap.
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment