" BUKU HARIAN IBLIS '' (Part 17)


Part -17

Pembangunan Peradaban manusia

“Pengalamanku sebagai kembara zaman mengharuskan aku berpendapat begitu. Manusia telah membangun peradaban, dan kemudian mereka menghancurkannya sendiri.
Manusia bangkit kembali, dan untuk kesekian kalinya mereka menghancurkannya lagi. Seolah-olah seumur hidupnya, manusia di takdirkan untuk berbuat yang serupa. Jatuh dan bangkit, jatuh lagi dan bangkit lagi, dan seterusnya. Suatu ketika mereka sudah tampak tolol dan menyerah, ternyata mereka berusaha untuk memberontak.

Walaupun mereka harus berjalan seperti anak kecil, lantas sekonyong-konyong mereka sudah lepas dari titik kehancuran.”

“Apa kelebihan mereka, Bos?” tampak sinar penasaran di mata Jin Iffrit semakin menyala.

“Coba bos katakan saja!”

“Camkanlah kata-kataku ini.”

Aku mengucapkan kata-kata itu dengan tekanan berat, “Tuhan itu adalah kemerdekaan mutlak. Dan manusia itu adalah cerminan daripada Tuhan itu sendiri. Walaupun ia hanya memiliki kemerdekaan yang relatif, juga tetap bernama kemerdekaan. Sebagaimana cahaya yang lemah, ia tetap merupakan cahaya!”

“Jadi….?”

“Manusia akan tetap menjahili nasibnya sendiri!”

Jin Iffrit menatapku tajam. Ia seperti melihat ketidak jujuran terbaca di riak wajahku. Aku membuang muka.

“Aku seperti menangkap sebuah kebohongan!” ucapnya. Kata-katanya bagai petir. “Aku rasa Bos tak mau berbagi kejujuran denganku.”

Pelan-pelan dadaku berdegup setengah kencang. Ada rasa berdesir di sekujur saraf. Sebuah kelebat pikiran menyerbu keruang bawah sadarku. “Mengapa Bos tak mau mengatakan saja!”

Sejurus aku terbungkam.

“Mengapa, Bos?” desaknya.

Berulang aku menghela napas panjang sebelum menjelaskan kegelisahan hatiku. kegelisahan yang dapat di katakan kubawa dalam setiap jengkal langkahku semenjak zaman penciptaan.

“Karena aku takut kata-kataku akan menghancurkan, Frit!” suaraku gemetar dan dalam. “Rahasia yang kusimpan erat di relung jiwaku ini membuat segala yang ada di alam semesta ini, baik yang terang maupun yang tersembunyi, menjadi tak berarti apa-apa. Dan kita pun akan merasakan bagaimana debu di antara lautan pasir dibandingkan rahasia itu.”

Jin Iffrit



Seberkas nyala api terpancar dalam ceruk mata Jin Iffrit. Barangkali sebuah rasa penasaran, marah ataupun kemurkaan.

“Tidak, tidak, itu tidak betul ….!” jerit Jin Iffrit dengan erangan tertahan. “Bos telah menyakinkan aku, juga seluruh masyarakat kita, bahwasannya tak ada yang lebih tinggi dan mulia kedudukannya di antara seluruh makhluk ciptaan Allah kecuali kita ini. Kata-kata Bos itu telah menjadi inti keyakinan kami dan akan kami pegang sampai kapan pun. Oleh karena itu, sepanjang zaman kami tak pernah menyesalkan pembangkangan Bos untuk bersujud kepada Adam, walaupun kami pun menjadi bangsa terhina dan terbuang. Kami turut merasakan pedih dan nyerinya hati Bos ketika harus menerima tragedi menerima ujian perintah bersujud kepada Adam itu. Percayalah Bos kami senantiasa berdiri di belakang barisan Bos!”

“Tidak, kau tak akan mengerti sejauh mana beban jiwaku ketika mengetahui rahasia itu!”
“Jin Iffrit diam. Aku pun bungkam.

“Memang sebelumnya, aku telah mengetahui adanya rahasia itu. Namun, perasaan congkak dan takabur telah menutup mata hatiku. Sehingga aku tak pernah merenungkan lebih jauh tentang sesuatu yang ada di balik rahasia itu.

Namun semenjak aku terusir dari taman Firdaus, mulailah aku memikirkannya. Dan apa yang terjadi kemudian? Ketika aku mengetahui apa yang tersembunyi di balik rahasia abadi itu, jiwaku hancur sehancur-hancurnya. Aku meratapi peruntungan takdirku. Aku menangis berabad-abad lamanya di antara kegelapan jagad raya.”

“Duh, sampai sejauh itukah beban tragedi itu, Bos?”

Aku mengangguk pelan.

“Sekarang aku harus jujur untuk mengatakan kepadamu, bahwasannya segenap perbuatan dan pembangkanganku terhadap Sang Khaliq, tak lain dan tak bukan semata-mata didorong perasaan bawah sadarku yang terluka. Aku memberontak terhadap sikap pilih kasih Tuhan terhadap garis takdirku.

“Oleh karena itu, dendam dan pertanyaanku dengan makhluk tanah liat itu sesungguhnya secara hakiki aku bertarung dengan takdirku sendiri!”

Jin Iffrit menggeleng-gelengkan kepala. Seakan-akan ia ingin menepis semua kata-kata penjelasanku.
“Tidak, tidak, tidak, itu tidak benar ……….!” teriaknya sambil mencengkeram lenganku. “Bos jangan sekali-kali mengatakannya lagi. Tolong katakan, bahwa semua kata-kata itu semuanya bohong semata!”
“Tetapi aku mengatakan yang sebenarnya!” ucapku dingin.

“Tidak, itu bohong!”

“Tapi itu benar!”

“Bohong!”

“Benar!”

“Wealah, bagaiman Bos ini!” tiba-tiba suara Jin Iffrit terdengar lirih dan mengandung isak tangis.

“Mengapa Bos harus mengatakan, kalau seandainya hal itu justru jiwa lebih pedih dan pahitnya menanggung!”

“Karena tadi kau sendiri yang memintanya !” ucapku dingin.

Jin Iffrit menatapku sejurus.

“Tidaaaaaaak…….” kembali ia merenung. “Itu bohong!”

Aku cekal kedua bahunya.

“Walaupun aku makhluk penuh kebohongan dan andaikata pun yang kukatakan adalah sebuah kebohongan, namun aku tak mau kata-kataku dianggap sebagai bohong belaka.”

Jadi……?”

“Camkan kata-kataku: percayalah kepadaku!”

“Baiklah, Bos!”

Sebelum aku berkata-kata lebih lanjut, aku terbungkam beberapa saat lamanya. seakan-akan apa yang hendak kukatakan kepada Jin Iffrit memang betul-betul sanggup membuatku sesak napas.
“Bos seperti ragu untuk mengatakannya!”


” Karya Herly Sauri “

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment