Part - 19
Google Image
Mengetahui namanya padahal Tuhan belum menjadikannya. Maka pada saat itu Adam menjawab, bahwasannya ketika Tuhan menciptakan dirinya, Adam sempat mengangkat kepala. Adam sempat melihat tulisan di tiang “arasy yang berbunyi” La Illah Allah, Muhammad Rasulullah.”
“Jadi…….?” Jin Iffrit tersentak.
“Betul. Tak salah.
Nur Muhammad. Yang menjelma dan lahir sebagai manusia tak lain adalah Nabi Muhammad. Oleh karena itu, dia disebutkan dalam hal kejadian dialah yang paling awal, namun dalam hal kenabian dialah yang paling akhir.
Dialah yang batin dalam hakikat dan Dialah yang lahir dalam ma’rifat.”
“Jin Iffrit pucat. Sekujur tubuhnya tampak gemetar.
“Rasanya aku tak sanggup lagi mendengar lebih jauh penjelasan itu. Uraian kata demi kata seakan-akan telah melemparkan kita ke lumpur kehinaan yang jauh lebih dalam.”
“Jin Iffrit diam. Aku pun bungkam. Ruangan itu seakan-akan telah menjadi ruangan mati.
Tiba-tiba Jin Iffrit menatapku tajam. Pandangannya seolah hendak menembus jantung.
“Lantas apa sesungguhnya hubungan turunnya Bos sekarang ke bumi manusia ini?” tanyanya dengan nada sinis. “Hendak meraup kekalahan dan kehinaan lagi?”
“Cucuku yang malang,” sahutku dengan nada berat dan dingin. “Maafkan kalau aku telah mengorbankan kamu sekalian semata-mata karena perbuatanku. Pembangkangan yang teramat mahal. Hanya karena membela sedikit harga diri. Secuil rasa congkak dan takabur telah mengorbankan pembangkangan. Mengangkangi hakikat kebenaran!”
“Jin Iffrit membuang muka.
“Namun ketahuilah, aku telah terlanjur melangkah. Sejak awal aku telah memproklamasikan iblis tetap iblis. Selamanya akan mengorbankan kerusakan dan kemungkaran. Aku telah terhina semenjak diciptakan, maka selamanya akan terus demikian.”
“Mengapa Bos sedemikian yakinnya terhadap tindakan itu. Bukankah tindakan tolol apabila mengetahui muara dari segala tindakannya itu menuju kepada kesia-siaan belaka.”
“Siapa bilang sia-sia? Tidak!” radangku sambil mencengkeram lehernya. “Bagaimana aku dapat menegakkan kepala? Bagaimana mungkin aku hidup tanpa sebuah harga diri? Tidak. Tidak, aku melakukan pembangkangan dan pemberontakan demi membela harga diri dan keyakinan. Biarlah bara api membakarku, asalkan aku hidup dengan rasa harga diri.”
Kembali Jin Iffrit tak mampu menepis kata-kataku.
“Jin Iffrit,” aku menyambung ucapanku dengan kata-kata penuh rasa dendam kesumat,” akhirnya dari sebuah perjalanan karena adanya sebuah langkah. Keberhasilan dari sebuah tujuan karena adanya perjuangan. Dengan berakhirnya masa Nubuwwat atau berakhirnya periode nash, aku tak yakin akan bertemu dengan musuh yang benar-benar sepadan dengan keperkasaanku! Akan kugiring makhluk tanah liat itu kejurang kehancuran.”
“Kelembah kehinaan yang sama seperti yang kita rasakan!” tambah Jin Iffrit.
“Tercampak ke api neraka!”
“Ya!”
“Dari api kembali api!”
“Ya lagi!”
“Tercipta dari inti api lebur ke lembah api!”
“Ya benar lagi!”
Wajah Jin Iffrit berubah. Dari muram ke semringah. Ia menemukan kembali kepercayaan diri.
“Apa latar belakang falsafah tekad dan keyakinan dari tindakan Bos itu ?”
“Apa latar belakang falsafah tekad dan keyakinan dari tindakan Bos itu ?”
“Nah, inilah yang hendak kujelaskan kepadamu sekarang,” kataku dengan penuh semangat. Pertanyaan Jin Iffrit membuatku merasa tersanjung. “Memang sudah sepantasnya neraka merupakan sebaik-baiknya tempat bagi kita. Tercipta dari api harus kembali menyatu dengan api pula. Jiwa kita merupakan manifestasi panasnya api. Maka setelah mati, kenerakalah tempatnya kembali. Hawa panas hanya sesuai bersatu dengan hawa panas.”
“Tidak salah, Bos!” sahut Jin Iffrit penuh semangat. “Tak ada lagi beban penyesalan di dada ini. Perjuangan harus terus berjalan.”
Aku dan Jin Iffrit saling berpandangan. Saling tersenyum. Tak lama kemudian, meledaklah tawaku dan gelak Jin Iffrit.
“Huahahahahehehehihihi……..”
“Hihihihehehehuhuhuhahaha ……….”
Tiba-tiba Jin Iffrit menghentikan gelak tawanya. Ia menghampiri. Wajahnya di sorongkan dekat telingaku sambil bertanya:
“Apa Bos sudah ketemu musuh yang dicari itu?”
“Belum,” jawabku datar. “Sewaktu rapat besar dahulu, aku terlampau emosi. Sebelum sempat bertanya tentang nama dan tempat orang itu, aku langsung turun ke bumi.”
“Tetapi hologramnya kan sudah Bos terima?”
Hologram
“Ya,” aku segera memperlihatkan hologram yang dimaksud. Maka dalam sekejab dalam ruangan itu, muncul seberkas cahaya yang semakin lama membentuk figure manusia. “Inilah dia orangnya, kan?”
Jin Iffrit mengamati dengan seksama. Keningnya berkerut. Sejurus kemudian, ia tersenyum simpul. Bahkan, akhirnya meledak pula tawanya.
“Mengapa kau tertawa, kunyuk hina?”
“Apa tak salah orangnya dalam hologram ini, Bos?”
“Hologram yang aku terima, memang ini orangnya!”
“Wah, tak mungkin. Mustahil!”
“Mengapa tak mungkin?” tanyaku bingung. Tetapi kemudian timbul rasa curiga. “Apa semua ini termasuk leluconmu, Frit?”
Serta-merta kusambar lehernya. Kucekik ia lidahnya sampai terjulur seperti kue kucur.
“Ampun, ampun dah, Bos ………!” napasnya tersengal-sengal. “Sungguh aku hanya ikut-ikutan!”
“Bangsat. Kunyuk. Bandit hina ……..!”
“Ampun deh, Bos. Semula memang kami memang tak bermaksud mempermainkan Bos. Orang itu memang membuat kami pusing tujuh keliling. Oleh karena itu, kami beranggapan hanyalah Bos yang dapat melangkahkan”.
“Sungguh……….?” hatiku berbunga-bunga. Merasa tersanjung dipercaya anak-anak cucuku sendiri.
“Kalau begitu, sekarang bantu aku mencari orang yang kalian maksud.”
“Baik, baik, Bos!” tanpa diminta Jin Iffrit segera memproyeksikan sebuah hologram lagi di tengah-tengah ruangan itu. “Inilah orangnya, Bos!”
Untuk beberapa saatnya, aku mengamati figure itu. Namun, tak kurasakan adanya getaran sedikit pun dengan sosok itu. Walaupun figure itu tampak cemerlang cahayanya , seperti layaknya orang-orang suci, namun tak menimbulkan getaran-getaran apa pun kepadaku.
“Baiklah, Frit,” kataku kemudian. “Kumpulkan berkas-berkas orang ini.”
“Baik, Bos!”
“Tetapi, aku juga ingin tahu, gambarnya siapa yang kuperlihatkan dalam hologram tadi?”
“Kalau itu sih, namanya Tortotor, Bos!” sahutnya sambil tertawa. “Dia sih manusia tak tentu juntrungannya, Bos!”
“Aku tak peduli. Aku minta kau kumpulkan juga berkas-berkas manusia Tortotor itu!”
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment