Part - 42
Dua orang itu berdiri dengan sikap sempurna dihadapanku. Layaknya prajurit terlatih yang siap menunggu perintah dari atasannya.
“Aku menginginkan laporan dari kalian mengenai perkembangan akhir-akhir ini. Hal itu penting untuk keberhasilan tugas kita. Sebelum terjun, kita terlebih dahulu harus mengetahuinya.”
“Siap, Pak!” sahut kedua hampir berbarengan. “Semuanya sudah kami masukkan dalam berkas laporan yang segera kami serahkan!”
Dr Admon maju selangkah. Ia menyerahkan berkas yang semenjak tadi dikempit diketiaknya.
Sejenak aku memandang keduanya. Kiranya mereka ini sudah siap setiap saat kuperlukan.”
“Baik, kalau begitu tunggu perintah selanjutnya!”
Dua orang itu kupersilakan pergi. Menghadapi mereka, aku bagaikan terjebak dalam suasana formal acara parade militer saja.
“Morgin!”
“Oh, ya, Bos!” sahut Morgin tersentak.
“Kau baca dua berkas laporan itu,” perintahku. “Laporan apa saja isinya!”
“Siap, Bos!” sahut Morgin meniru-niru sikap formal kedua monyet serdadu tadi.
Aku diam, walaupun dalam hati terasa mendongkol. Aku sudah payah mengumpat orang satu ini. Ketika dia pergi, sama sekali tidak kuperhatikan.
Tanpa menunggu hasil laporan Morgin, aku berusaha membongkar data-data yang tersimpan dalam perpustakaan pribadi Zalbak. Dari buku-buku, majalah, sampai disket, yang semuanya tak terhitung jumlahnya, satu per satu kuperiksa. Dari penyelidikan intensif itulah, aku memperoleh masukan yang lebih berharga.
Karena ternyata Zalbak adalah orang yang sangat teliti, semua yang dianggap penting disimpan sebagai dokumen di perpustakaan pribadinya itu.
Data membongkar kealpaan elite penguasa. Kealpaan pranata politik itu tentunya identik dengan mengundang datangnya bahaya riskan. Kerawanan politik.
Ketika elite politik hanya sibuk memikirkan kepentingan sendiri, timbullah kerawanan politik. Kondisi politik telah menempatkan elite penguasa dan kaki tangannya sebagai segelintir pihak yang dapat menikmati kemakmuran, muncullah kecemburuan sosial. Perasaan ketidak puasan rakyat menjadi fenomena di mana-mana.
Ketimpangan sosial, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan, mempertegas dan memperkuat harapan dan aspirasi rakyat berada pada titik kritis. Rakyat mulai bergolak.
Semula tampak sporadic, semakin lama semakin merata dan membesar. Semula tampak spontan, namun kemudian tampak semakin rapi dan terencana.
Elite penguasa dan didukung oleh perasitnya, tentu saja enggan mengikuti arus yang dikehendaki oleh rakyat yang tak puas itu. Panguasa bukan lagi pelayan masyarakat, tetapi berubah sebagai pemegang kedaulatan.
Namun di lain pihak, penguasa yang telah terbiasa dimanja oleh segala macam fasilitas kemudahan, menjadi penguasa yang lemah dan lengah. Akhirnya, penguasa lebih suka menyelesaikan masalah-masalah sering melalui jalan pintas dan tak bersih.
Dalam kehidupan yang busuk itu, hampir dalam setiap jenjang, baik sipil dan militer, sudah tidak lagi steril. Aparat penegak hukum telah menjadi alat perlindungan dari penguasa. Militer jadi alat penindas.
Pemerintah menjadi sangat rapuh dan lemah. Karena anasir-anasirnya sendiri justru menggerogoti dari dalam. Wibawa ambruk.
Hm, dalam situasi dan kondisi semacam itulah kiranya penguasa menugaskan Zalbak. Melakukan suatu misi yang amat penting agar kehidupan politik tetap stabil dan terkendali.
Tak terlalu sulit bagiku untuk mengetahui cara-cara Zalbak menyelesaikan tugas-tugasnya itu. Dan barangkali ketelitiannya untuk mencatat semua aktivitasnya itu, justru juga merupakan kelemahan tersendiri bagi Zalbak. Semua cara-cara busuknya secara tersirat terbaca detail di dalamnya.
Adakalanya Zalbak ditugaskan mengobarkan kerusuhan atau kekacauan di mana-mana. Tujuannya tiada lain, agar penguasa mempunyai alasan untuk melakukan tindakan represif atau menekan pelbagai aktor kehidupan rakyat. Kekerasan yang dicampuri fitnah mewarnai tindakan represif itu, ketakutan sengaja ditebarkan ketengah-tengah kehidupan. Agar rakyat menjadi phobia dan alergi terhadap aktivitas politik, sekalipun untuk membela kepentingan sendiri.
Acapkali pula Zalbak disusupkan untuk menunggangi aktivitas rakyat atau kelompok kepentingan lainnya, sehingga aktivitas mereka lambat laun menjadi tak terkendali dan beringas. Zalbak sengaja mengorbankannya, sehingga penguasa dengan mudah menggiring mereka keliang lahatnya sendiri.
Ah, cara-cara klasik Zalbak masih dapat kupergunakan untuk mempercepat aku menyelesaikannya permainan itu! Siapa tahu pula dalam kerusuhan dan kekacauan itu, sekonyong-konyong aku bersua dengan musuh yang selama ini kutunggu-tunggu batang hidungnya (tentu saja dengan batang tubuhnya, kan nggak lucu kalau muncul cuma hidungnya doang. He he he).
Morgin belum juga muncul. Aku menjual curiga. kemana gerangan karung makanan itu. Aku segera memburunya ke dapur.
Ya, ampun. Ia tertidur di dipan yang ada di depan pintu dapur. Dengan geram aku mengambil selang air. Tanpa ampun lagi segera kusemprotkan ke wajahnya.
“Kebakaran, kebakaran, kebakaran………….!” teriaknya gelagapan.
*****
“Morgin!” bentakku diruang perpustakaan, ”aku tak butuh pendapatmu mengenai berkas laporan Dr Admon dan pegas. Karena aku yakin kau tak akan pernah membacanya, selain mengisi perut belaka.”
Morgin tersenyum masam.
“Sekarang aku menginginkan kau laksanakan perintahku !”
“Siap, Bos!”
“Hubungi Tortotor !”
Morgin tampak ragu. Namun ia mengangguk sambil meraba-raba keningnya.
“Mengapa kau tampak ragu melaksanakan perintah, Morgin?”
“Habis aku tak tahu dimana harus menghubunginya. Apabila bukan dia sendiri yang menghendaki, aku tak dapat memastikan dapat menjumpainya!”
“Aku tak mau tahu!” sahutku ketus. “Lakukan saja!”
Dengan langkah gontai, Morgin keluar ruangan.
Belum juga seperempat jam Morgin pergi, sekonyong-konyong Tortotor muncul. Aku dapat memastikan bukan karena Morgin orang ini menampakkan batang hidungnya. Paling tidak karena faktor kebetulan ia datang.
“Aku menyuruh Morgin menghubungimu!” pancingku.
Tortotor tak beriaksi. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi yang berarti. Hambar. Emosi orang satu ini sulit ditebak.
“Ada tugas yang kuinginkan kau menyelesaikannya!”
“Aku senantiasa siap!” sahutnya cepat dan tanpa emosi.
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment