'' BUKU HARIAN IBLIS '' (Part 41)

Part - 41


“Apa fasilitas yang selama ini kau terima masih kurang?” tiba-tiba ia menyorongkan pandangannya langsung ke ceruk mataku. “Betul begitu?”


“Tidak. Aku merasa cukup bergelimang kemewahan. Namun hasil pekerjaanku juga memberikan jaminan keamanan  bagi kekuasaan kalian.  Dan dengan kekuasaan itu kalian dapat berbuat apa saja .”




Tanpa nyana, orang itu kembali menyambar kerah  jaketku. Wajahku ditariknya kedekat wajahnya. Gerahamnya gemeretak. Matanya menyorot tajam.



Hm , rupanya kepalamu mulai terkontaminasi pikiran macam-macam,” sambil mengucapkan kata-kata itu, tangan orang itu mengguncang-guncangkan tubuhku. “Kiranya aku telah salah memprediksikan buduk macam kau!”



“Aku menginginkan perlakuan yang setimpal!” ucapku dengan tenang. “Selama ini aku tak pernah menerima perintah langsung dari Jenderal sendiri. Aku merasa tak di libatkan. Seolah-olah aku hanya berdiri di luar lingkaran dari yang kuperjuangkan dengan pengabdianku.”



“Orang itu mencampakkan aku. Aku pura-pura terdorong beberapa langkah. Dalam batin, aku menyumpah serapah dan menyimpan dendam. Suatu saat orang ini memang perlu diberi pelajaran.

Soldier

“Zalbak,” katanya kemudian. “ingatkah bahwa aku dahulu hanya berasal dari comberan. Seorang prajurit yang tak mempunyai kelebihan apa-apa, kecuali kegilaan. Dengan keyakinan itu, aku membinamu untuk tujuan-tujuan rencanaku. Dan ternyata kau memang dapat di andalkan.”

Dia diam. Aku pun turut diam. Suasana lengang kembali menyelimuti gudang itu.

“Kalau kau masih sayang terhadap posisimu sekarang. Hidup mewah berkedokkan seorang pengusaha sukses, maka lenyapkan pikiran-pikiran gila dari jidatmu itu!”

Aku diam. Menunggu-nunggu kucuran kata-katanya lebih jauh.

“Mengapa kau diam, Zalbak?!”

“Aku tak puas dengan posisiku sekarang. Fasilitak apapun tak cukup bagiku. aku merasa tak pernah menjadi bagian dari pekerjaanku sendiri. Persetan dengan segala fasilitas, asalkan aku dimasukkan ke dalam lingkaran persekutuanmu !”

Orang itu membelakangiku. Mematung sebentar kemudian, ia mencabut sebatang sigaret. Seberkas cahaya korek menerangi  wajahnya. Keningnya berkerut-kerut, manandakan ia berpikir keras.

Sekonyong-konyong ia berbalik lagi menghadapiku.

“Baik!” katanya kemudian, “lakukan tugasmu, maka akan diperhatikan permintaanmu itu!”

“Baik!” sahutku tegas.

Orang tinggi besar yang berpakaian jaket itu menatapku untuk beberapa saat  lamanya. Barangkali kunyuk ini mau memastikan jawabanku. Kemudian, tanpa berkata sepatahnpun ia pergi. Memasuki kerangkeng besi itu lagi. Roda-roda hidraulis mengangkat kerangkeng besi itu pelan-pelan.

Gudang itu kembali senyap.

Tiba-tiba pintu depan itu terkuak. Sedan hitam itu kembali muncul. Sopirnya mempersilakan aku masuk.
Dalam perjalanan, sopir itu menyodorkan buntelan yang diikat rapi. Aku lemparkan ke sudut tempat duduk.

“Data-data yang Anda perlukan!”

“Data-data apa?”

Sopir itu tak segera menjawab. Matanya sekilas melirik kearahku melalui kaca sepion. Rupanya ia heran mendengar pertanyaanku tadi. Namun aku pura-pura tak peduli.

“Data-data orang yang perlu dikontak, logistic, dan prioritas target!”

Aku mulai merasakan adanya perubahan di sekitar tempat kediaman Zalbak. Orang-orang baru dengan sengaja menempati sudut-sudut tertentu. Hm, barangkali mereka yang dikirim pemerintah.

Dari gerak-geriknya yang tenang dan penuh perhitungan, tak salah mereka tentunya dari pasukan khusus.

Sebuah drama anarkis mulai terasa. Aku mulai mencium bau sesuatu yang menjijikkan. Kebusukkan tiran penguasa.

Melalui intercom, aku memanggil Morgin.

Tak lama kemudian, Morgin  muncul. Mulutnya masih tampak mengkilat karena minyak. Tak mustahil kunyuk ini tak habis-habisnya melahap makanan di dapur.


“Ada apa, Bos?” tanya Morgin sembari menelan sisa makanan. Sialan orang satu ini, umpatku dalam hati. Barangkali hanya satu orang yang bisa menandingi Morgin dalam masalah yang satu ini, yaitu, Muawiyah bin Abu Sufya. Orang itu barulah berhenti makan kalau sudah kepayahan bukan karena kenyang. Itulah satu-satunya kelebihan Muawiyah yang tercatat dalam sejarah selain kelicikkannya dalam politik.. Dan bakat itu rupanya diadaptasi oleh Morgin.

“Tolong panggilkan orang yang sangat berkepentingan dengan tugas utamaku!”

Sejurus Morgin tersentak. Namun kemudian ia mengangguk pelan. Rupanya ia maklum pada permintaanku itu.

“Apa kau mengerti, Morgin?” tanyaku ragu.

“Sangat mengerti, Bos!”  sahutnya tegas. Sikapnya sungguh diluar kebiasaannya. Kini, ia bersikap seolah seorang prajurityang mendapat perintah komandannya. “Baik. Segera kupanggilkan orangnya!”

“Tunggu dulu, Morgin!”

“Ada apa, Bos?”

“Siapa orang yang hendak kau panggil itu?”

Morgin kembali tersentak. Ia seperti asing mendengarkan pertanyaanku itu. Dahinya tampak berkerut.
“Siapa lagi kalau buka Dr.Admon dan Pegas, Bos!”

Kini aku yang tercenung. Akh, kiranya orang-orang yang disekelilingku tak lain adalah orang-orang dekat Zalbak sendiri. Setiap saat mereka siap menerima perintah, layaknya hanya memijat tombol saja.

“Kalau begitu, panggil mereka. Cepat!”

“Baik, Bos!” dia langsung pergi.

Dari kaca jendela ruangan, aku kembali memperhatikan keadaan diluar.

Tak lama kemudian, Morgin muncul. Di belakangnya mengekor dua orang yang kupanggil. Dr.Admon dan pegas, kepala pelayan rumah tangga Zalbak. Hm, tanpa dinyana kiranya selama ini aku dikelilingi cecunguk-cecunguk Zalbak.



” karya Herly Sauri ”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment