Part - 48
Tiba-tiba aku merasa kembali menjadi penting di mata anak-anak cucuku. Karena sebentar lagi, aku kembali berhasil mengorbankan adu domba menjadi api pertumpahan darah.
Kurir Bang Xis sudah mengirim sandi bahwa dalam waktu yang telah ditentukan serbuan besar-besaran akan di lancarkan. Aha, itu namanya mereka bagaikan menggali liang kuburnya sendiri. Ketika sandi itu diterima, segera aku menghubungi Jenderal.
Tentu saja, Jenderal segera memerintahkan seluruh jajaran angkatan bersenjata siap siaga secara diam-diam.
Kalau persiapan menangkal serbuan itu dilakukan secara terang-terangan, maka rencana penumpasan maker pemberontak itu akan gagal total. Karena tak mustahil mereka akan mengurungkan rencana serbuannya.
Dengan gelisah, aku menunggu-nunggu tibanya drama huru-hara itu. Waktu terasa berjalan lambat. Jarum jam terasa beringsut-ingsut bagai siput yang bisa jalan, karena ada tol siput yang nggak bisa jalan. Hush!
Pada petang harinya, yaitu di malam rencana penyerbuan akan di lancarkan, aku sengaja duduk di atap rumah. Ingin menyaksikan drama huru-hara itu di pentaskan.
Di saat penungguan itu, sekonyong-konyong aku menjadi teringat Morgin dan Tortotor. Kemana kedua kunyuk itu.
Sudah berhari-hari tak menampakkan batang hidungnya. Peduli kambing, aku perlu apa memikirkan dua pelawak itu!
Malam terasa lebih gelap daripada malam-malam sebelumnya. Sunyi terasa lebih mencekam dari kesunyian sebelumnya.
Di jalan-jalan tak lagi semeriah malam-malam sebelumnya. Akh, aku merasa lebih gerah sekarang. karena angin pun enggan bertiup. Mengapa suasana malam ini jauh lebih berbeda.
Angin mengintip-intip langit. Menunggu pijar peluru suar meledak di udara. Pertanda penyerbuan tengah di lancarkan.
Namun sampai menjelang tengah malam, tak ada sesuatu pun yang terjadi. Bahkan para penjaga yang berkeliling di seputar rumahku pun mulai malas-malas berjaga.
“Sialan, hanya kadal barangkali yang datang mengacau di malam ini!” gerutu seorang serdadu yang menjaga di sudut belakang rumah.
“Sabarlah. Aku menangkap sesuatu malam ini agak berbeda.”
“Apa bedanya?” tanya yang pertama kepada teman jaganya.
“Kalau tadi malam, malam Kamis, sekarang malam Jumat!”
“Sialan, kau!”
“Hampir dapat dikatakan semua penguasa tak akan mengurus masalah moral rakyatnya!” tukasku memancing.
Bang Xis mendengus samara. Pandangannya tajam menyorot langsung keceruk mataku. Aku sedikit bergetar.
“Itulah pandangan secular. Saudara Zalbak!” katanya dengan nada berat. “Dengan pandangan itu, sekarang hampir dalam semua bidang kehidupan mengalami kebusukkan.”
Dengan alasan itukah Bapak mengorbankan maker!”
“Pada prinsipnya : Ya!” katanya cepat.
Aku tersenyum samara. Memang jawaban itulah yang semenjak tadi kuharapkan. Pelan pelan kusodorkan map yang pernah ku terima dari Fedrik dan kurir Sang Jenderal.
Dasar makhluk konyol mereka, umpatku dalam hati. Di saat-saat yang tegang, mereka masih saja bercanda.
Sampai tengah malam turun, belum juga terjadi apa-apa. Sialan, sia-sia penungguanku. Aku merasa di kibuli oleh sandi palsu Bang Xis.
Aku bangkit dari kursi malas. Namun bersamaan dengan pantatku terangkat dari kursi itu, seketika itu pula kulihat letusan di kejauhan.
Hanya sekali. Ya, satu letusan. Selain itu tak ada apa-apa. Aku menggerutu, barangkali cuman ban sepeda saja yang meletus.
Dengan hati mendongkol aku tidur. Ketika mata hampir terpejam, tiba-tiba rumah terasa bergetar. Dari segala penjuru mata angin berkecamuk bunyi tembakan dan dentuman bom.
Tanpa berpakaian lagi, aku segera kembali ke atap rumah. Dari ketinggian bangunan rumah itu, aku menyaksikan pesta kembang api yang semarak. Begitu dahsyatnya huru-hara peperangan itu, nyaris gedung rumah Zalbak bergetar tanpa henti.
Tak salah, Bang Xis telah mengerahkan seluruh kekuatan yang di milikinya. Dan mereka memperoleh sambutan yang tak kalah hebatnya dari pasukan pemerintah. Karena hari penentuan serbuan besar-besaran itu telah kubocorkan kepada Sang Jenderal.
Bang Xis bagai menggali kuburan bagi seluruh anak buahnya. Dan dengan demikian pula, ibukota menjadi kuburan terakhir bagi misi perjuangannya. Persetan, eh peduli amat dengan perjuangan moral dan agama! Akan mengurangi lahan jarahanku saja!
Sampai dini hari, barulah huru-hara pertempuran itu reda. Pertempuran yang lebih menyerupai upacara penguburan massal bagi Bang Xis dan anak buahnya. Sekali dua masih terdengar tembakan dari sudut-sudut kota.
Ibukota bermandikan darah dan mayat-mayat terserak dimana-mana, truk-truk militer simpang siur mengangkut mayat-mayat itu entah kemana.
Siang harinya, Ibukota kembali bersih dan noda yang menggetarkan dan menjijikkan itu.
Namun kehidupan tak sepenuhnya kembali normal. Tegang dan diselimuti ketakutan yang luar biasa.
*****
" Karya Herly Sauri "
0 comments:
Post a Comment