Part - 49
NYANYIAN BERHALA
Tengah hari, tiba-tiba sebuah pesawat helicopter mendarat di halaman. Beberapa pasukan khusus segera turun dengan cekatan. Mereka langsung mendobrak pintu dan membawaku pergi di bawah ancaman senjata.
Tentu saja, aku menjadi kebingungan. Ada apa gerangan semua sandiwara ini ? Bukankah kesuksesan penguasa dalam menumpas huru-hara semalam atas jasa besarku ?
Namun aku berusaha menahan diri, barangkali hal semacam ini sudah wajar dialami oleh Zalbak.
Dengan berpura-pura tak berdaya, aku menuruti saja kemauan mereka. Aku di giring menaiki pesawat capung itu. Dalam waktu yang hanya sekejab, aku telah tercabut dari rumah. Entah di bawa kemana, Karena mataku ditutup kain hitam. Barangkali mereka tak ingin tempat yang di tujuh diketahui.
Pesawat mendarat di suatu tempat, yang dapat kupastikan masih tak terlampau jauh dari Ibukota. Karena pesawat helicopter itu terbang tak terlampau lama. Mereka menggiringku lagi ke sebuah bangunan.
Dapat dipastikan juga, tempat itu tak lain adalah sebuah gudang. Karena ketika orang-orang itu berbicara suara-suaranya bergema.
Dengan kasar sekali, aku di dorong di sebuah ruangan. Kemudian mereka melepaskan ikatanku.
“Ada apa ini?” tanyaku penasaran dan kesal bukan main. “Mengapa aku di sekap di gudang, heh?”
Mereka mendorongkan moncong senjatanya ke mulutku. Aku terjerembab. Aku hendak memberontak, namun tiga orang langsung mengerroyokku. Mereka menghajarku habis-habisan.
“Kurang ajar,” teriakku kalap. “Ada apa ini?”
Seorang di antara mereka menghantamkan laras senjatanya tepat di jidat. Tentu saja aku kembali jatuh terjerembab. Sialan.
“Masih mau banyak tingkah?” hardik mereka.
“Aku mau berbicara dengan Jenderal!”
“Mau berbicara dengan Jenderal?”
“Ya!” sahutku penuh harap.
Tanpa dinyana, orang itu kembali menghantamkan laras senjatanya ke jidat dan ulu hati.
“Inilah Jenderal,” katanya, mengibaratkan laras senjatanya dengan Jenderal. “Mau bicara dengan Jenderal lagi!”
Aku diam. Seandainya ku tak ingin mengetahui sebab-musabab kekonyolan ini, tentu sudah kulumat mereka.
“Diam disini seperti anak manis, kalau tidak ingin dihantam dengan Jenderal ini!” tunjuknya kepada laras senjatanya, kemudian ia pergi. Diikuti kedua temannya. “Jangan ngompol!”
Tengik, sialan!
Pintu ditutup dengan kasar. Brak! Duilah, kurang ajarnya bajul buntung itu.
Akan kuingat-ingat kekurangajaran kalian. Akan kubikin anak turunmu jadi kepompong!
*****
Aku terlonjak. Pintu ruangan pengap itu kembali dibuka. Tiga orang menyeretku dengan kasar.
Lampu-lampu sudah menyala semua. Kiranya hari telah malam. Aku terus diseret ke tempat tertentu. Kemudian, aku di suruh berdiri tegak di satu ruangan gelap.
Aku kebingungan.
Tiba-tiba sebuah lampu berpijar kuat dari hadapanku. Membuat silau sekali. Aku melindungi mata untuk melihat jelas ke depan.
Akh, cahaya lampu ini terlampau kuat. Aku hanya menangkap siluet tiga bayangan di hadapanku.
Mereka duduk di hadapanku bagai regu yang mau menginterogasi tertuduh.
Samar-samar kudengar mereka berbisik-bisik satu dengan yang lainnya.
Aku terkejut, suara mereka tak asing bagiku. Hm, aku sedang berhadapan dengan manusia-manusia yang tak asing lagi. Aku mengutuk dalam hati.
Manusia memang makhluk jahanam, mereka jarang pegang janji asal tujuannya bisa tergapai.
Seseorang diantaranya maju, membelakangi lampu. Barulah aku dapat mengenali wajah orang itu dengan agak jelas. Walaupun pakaiannya sudah jauh berbeda dengan sebelumnya, aku tak bisa di tipu oleh penampilannya kali ini.
“Kau!”
Ketika matahari pagi memberangus kegelapan malam, maka tampaklah hasil kebringasan dan kebrutalan makhluk manusia semalam. Bumi bagaikan kanvas yang di tumpahi cat.
Orang itu tampak tersenyum samar. Aku semakin tak mengerti sandiwara yang sedang mereka gelar. Di saat-saat seperti itulah aku merasa begitu hinanya di hadapan makhluk tanah busuk ini. Aku menjadi salah satu aktor sandiwara tanpa mengerti terlebih dahulu. Haram jadah!
“Aku tak dapat menyelahkan ketidakpahamanmu, Zalbak. Tapi hal itu bukan hal penting bagi kami,” kata bangsat tersebut.
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment