Part - 50
“Sebetulnya kami ingin langsung melenyapkan orang seperti kamu pada saat ini juga. Namun mengingat kaulah salah seorang yang sempat berjasa dalam meresakan api kerusuhan di negeri ini, kami bisa mentoleransi memberimu kesempatan untuk bernapas.”
Aku menggigit bibir. apa artinya semua ini.
Tiba-tiba orang itu memukul-mukul bahuku dengan tongkat komandonya.
Seakan-akan dengan sikapnya itu ia ingin memperlihatkan bahwa aku adalah seorang anak buahnya yang nakal namun sangat di sayang. Sialan.
“Sekarang, kamu harus hidup sewajarnya. Sebagai manusia kebanyakkan dan tanpa fasilitas seperti sebelumnya.”
Aku mengertabkan geraham. Mengingat sebuah kekalahan yang pahit.
“Jangan banyak tingkah. Kau senantiasa di bawah pengawasan dengan perintah bunuh bilamana bertingkah macam-macan.”
Di hadapan orang, aku menjadi tak ada artinya sama sekali. Sesungguhnya aku sanggup menghancurleburkan manusia satu ini.
Namun aku harus tahu terlebih dahulu apakah aku memang telah kalah dalam permainan ini?
Kalau ya, mengapa kekalahan ini tidak ku mengerti sama sekali. Aku harus tahu terlebih dahulu!
Tiba-tiba ia memungut sebuah ransel dari meja. Kemudia ia melemparkan ke hadapanku.
“Ambil. Itulah bekal hidupmu dan hanya itu. Kami tak pernah terikat olehmu. tetapi kau terikat oleh kami,” kata-kata itu begitu pedas dan menyakitkan.
“Sekarang enyahlah kau!”
Tiga orang yang tadi menyeretku, kembali menggiringku. Mereka membawaku keluar ruangan. Di depan pintu, mereka menutup mataku kembali.
Dalam sekejab mata, aku telah berada diatas helicopter. Terbang entah kemana.
Setelah berputar-putar cukup lama, pesawat itu terasa turun dan mendarat di suatu tempat.
Aku di dorong turun.
Mereka melemparkan ransel yang kuterima tadi.
Tanganku tak lagi diikat. Segera kubuka kain hitam yang membalut penglihatanku. Akh, ternyata aku berada di luar kota.
Aku memandang berkeliling. Yang tampak hanya tanah lapang. Barangkali tanah ini dibengkalaikan oleh pengembang (developer) yang bangkrut. Di tengah-tengah lapang itu, terdapat sebuah rumah papan yang di dirikan secara asal-asalan.
Celaka, mereka melemparkan aku ke tempat ini. Zalbak telah berganti peran. Peran yang tak lagi di butuhkan oleh mereka yang pernah memperalatnya.
Dengan langkah-langkah gontai, aku melangkah ke arah rumah papan itu.
“Bangsat betul Bang Xis itu,” aku bergumam tanpa sadar. “Begitu mudahnya ia mengecohku.”
Aku terduduk di depan pintu. Termangu-mangu. Aku merasakan suatu kehinaan yang menyakitkan. Aku kalah dua kali, kalah dengan Bang Xis dan kalah bertaruh dengan anak-anak cucuku. Aku tercenung memikirkan semua kesialan itu.
Sampai dua hari, aku tetap duduk membisu di depan itu. Menatap kekosongan horizon. Pikiran menerawang jauh tak menentu.
*****
Pada hari ketiga, ketika hari di rembang petang, sekonyong-konyong muncul sebuah mobil pikap hitam.
Dengan serampangan sopirnya menerabas tanah lapang yang di sana-sini di tumbuhi rumput ilalang dan semak belukar.
Lampu depannya langsung mengarah ke tempatku berada. Aku tak peduli. Aku tetap duduk membisu. Apabila kunyuk yang datang ini banyak bertingkah, akan ku cekik di tempat sunyi ini.
Pengendara mobil itu melompat ke luar. Ia hanya seorang diri.
“Selamat malam, Bos!” sapanya ramah.
Aku mengenal suara itu. Walaupun aku masih belum jelas melihat wajahnya, aku yakin dia adalah Morgin. Darimana saja monyet besar ini?
“Maaf, Bos,” katanya sambil melempar sebuah bungkusan ke dalam rumah papan itu,” Aku tak sempat menyertai Bos selama ini”.
Aku diam. Sudah hilang sama sekali kegairahanku untuk banyak cakap. Malahn aku menyumpah dalam hati kedatangan Morgin.
Melihat aku hanya diam membisu, Morgin pun jadi serba salah. Ia ikut berdiam diri.
Untuk selang waktu yang cukup lama kesunyian melabrak tempat terpencil itu. Hanya bunyi serangga, belalang dan binatang-binatang malam lainnya yang memecahkan kesenyapan malam.
“Bos……….!” Morgin memecahkan kesunyian, “bolehkah aku berbicara?”
“Bicaralah apa saja!” sahutku tak bergairah juga.
Morgin mendengus samar. Barangkali dia pun menjadi malas melihat aku hanya asal-asalan saja menanggapi.
Lampu pikap itu tetap menyala. Menerangi tempat di mana aku dan Morgin duduk berselonjor.
“Bicaralah kau, Morgin!”
Sejurus Morgin menarik napas berat. Seakan-akan hendak melontarkan beban yang menghimpit dadanya.
“Semua huru-hara itu adalah sebuah sandiwara. Telah di rekayasa sebelumnya.”
Au bungkam. Morgin bergumam tak jelas.
“Bicaralah terus, Morgin ; barangkali aku dapat terhibur dari kekalahan yang pahit ini.”
Morgin mendengus, kemudian meneruskan kata-katanya :
“Bang Xis hanya salah satu sekrup dari keseluruhan sandiwara besar itu. Karena huru-hara yang di ciptakan Bang Xis tidak sungguh-sungguh ingin membentuk sebuah negara yang berjalan di atas aturan moral dan agama.”
Aku tersenyum pahit. Sudah aku duga memang. Namun aku sempat terkecoh.
Morgin terus mengoceh tanpa ku minta.
“Pembusukkan yang terjadi di semua sektor kehidupan hanya di jadikan alasan untuk menciptakan huru-hara maker. Perjuangan moral dan agama hanya di jadikan alat. Sedangkan anak-anak buahnya sengaja dikorbankan Bang Xis sebagai tumbal dungu.”
“Apa tujuan sebenarnya dari sandiwara busuk itu, Morgin?”
“Aku yakin Bos mustahil tak tahu!” katanya mengelak.
“Katakan saja, agar aku terhibur!”
Morgin tersenyum, kemudian menyeringai. Pahit kesannya.
“Dengan huru-hara tersebut akan menciptakan kewaspadaan dan kebersatuan seluruh tatanan nasional. Huru-hara ini akan memaksa semua orang untuk berjalan di bawah atauran yang dikehendaki bersama. Karena huru-hara akan mengabsah-kan melenyapkan orang-orang yang berlaku menyimpang.”
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment