Part - 22
Google Image
“Hampir semua pekerjaan, kecuali satu: putus asa!”
“Aku tak percaya, kalau ada orang yang mengatakan sanggup melakukan segalanya. Kecuali kata-kata itu diucapkan seorang pembohong dan pembual!” aku mengatakan dengan sinis agar ia tersinggung.
“Tetapi akulah orangnya, Tuan Zalbak!” katanya tegas tanpa keraguan sama sekali. Seakan-akan ia menangkap sindiranku sekaligus karena ucapannya sendiri. “Dengan tangan ini, kupatahkan segala rintangan, Tuan!”
Mendengar kata-katanya, aku tertawa terbahak-bahak. Anehnya, iapun tertawa meledak-ledak juga.
“Tuan!” katanya kemudian dengan ekspresi bersungguh-sunggu,” janganlah Tuan terlampau terpana pada adat kebiasaan. Tetapi percayalah pula pada adat keluarbiasaan.”
“Apa maksudnya?” Aku penasaran melihat kesungguhannya. “Apakah kau sanggup melakukan sebuah kemustahilan?”
“Itulah yang hendak kukatakan!”
Kudekati ia dan kutarik kerah jaketnya, sehingga wajahnya hampir menyentuh wajahnya. Entah mengapa tiba-tiba muncul kebencian.
“Kau catatlah kata-kataku ini,” ucapku penuh rasa jijik di hati. aku telah bersua ribuan pembohong dan pembual. Namun baru kali ini aku menemukan yang paling istimewa.”
“Itu pula hendak kukatakan, kepada Tuan!”
Mendengar ucapannya, meluap kemarahan. Dengan keras kusentakan kerah jaketnya. Namun, ia sama sekali tak bergeming. Seakan-akan kakinya telah tertanam di tanah.
“Pembohong!”
“Tuan tak percaya kata-kataku!”
“Pembual!”
“Tetapi Tuan keliru,” katanya kemudian. Tangannya menepis tanganku dari kerah lehernya.
“Dengan tanganku ini” kutegakkan sesuatu yang telah runtuh dan keruntuhan sesuatu yang semula tegak!”
“Bedebah,” teriakku tak tahan pada bualannya.
“Aku tak butuh seorang pembohong dan pembual!”
Tortotor tetap berdiri tenang di tempatnya. Seringainya tetap menghiasi bibirnya yang mempunyai bekas sobekkan itu. Aku muak. Semula aku berharap akan berhadapan dengan seorang tangguh luar biasa. Namun ternyata kini yang kuhadapi tak lebih dari seorang pembohong dan pembual. Aku sama sekali tak mempercayai ucapannya. Telah banyak aku merengguk asam garam kehidupan. Bahkan aku dapat menabik dada dengan penuh kebanggaan, bahwa akulah yang telah bersua dengan ratusan Nabi, namun aku tetap kafir. Sekarang bagaimana mungkin aku harus percaya dengan kata-kata orang semacam ini? Kucing alas!
Aku menyambar intercom di laci. Memanggil Morgin untuk mengusir kunyuk ini dari hadapanku. Tak seberapa lamanya, Morgin muncul dengan napas tersengal-sengal.
“Ada apa, Bos?”
“Usir orang ini!”
Seketika Morgin menyadari kehadiran pihak ketiga di kamar itu. Sejurus ia terkejut setelah mengetahui siapa yang telah berhasil memasuki kamar Bosnya.
“Selamat bersua, Gendut!” sapanya kepada Morgin.
“Tortotor!” seru Morgin terkejut.
“Usir dia, Morgin!” aku menjadi muak dengan keterkejutan Morgin. Seakan-akan ia tak pernah bertemu dengan makhluk yang lebih aneh daripada orang ini.
“Cepat lakukan!”
“Tetapi dia memang kuundang datang kemari. Katanya Bos membutuhkan seorang pengawal yang tangguh.”
“Betul, tetapi aku tak memerlukan seorang pembohong dan pembual semacam orangmu ini !” entah mengapa aku begitu membencinya. Kata-katanya yang menyatakan sanggup melakukan segala hak membuatku muak bukan kepalang. Namun jauh di relung batinku sendiri, aku memang tidak menginginkan adanya makhluk yang akan menyamai keperkasaanku. Oh, jangan sampai hal itu terjadi. Akan membuatku sok berat. “Coba kau tanyakan apa yang dia katakan padaku barusan!”
Morgin menoleh penasaran kepada Tortotor.
“Apa yang telah kau koar-koarkan, Tor?”
“Aku mengatakan sanggup melakukan hampir semua pekerjaan, kecuali satu : putus asa!”
Aku mengertabkan geraham. Ada sesuatu yang menyakitkan dalam kata-katanya itu. Putus asa. Membuat aku teringat kepada pembangkanganku sendiri kepada Sang Maha kekasih. Bukankah pemberontakkanku itu tak lain dan tak bukan merupakan menifestasi yang paling halus dari sebuah bentuk keputusasaan. Kecewa. Kebencian. Dan entah apa lagi. Aku tidak menginginkan adanya makhluk yang lebih dekat dan lebih hebat di hadapan Tuhan Allah kecuali aku. Percaya deh, aku pencemburu berat sekali!
Morgin tampak berbicara serius kepadanya. Saling bersitegang.
“Tor,” Morgin meminta pengertian,” jangan mengatakan begitu kepada, Bos!”
“Tetapi kenyataannya begitu. Aku sanggup melakukan hampir semua pekerjaan, kecuali satu : putus asa!”
“Begini saja, cobalah kau balik saja kata-katamu itu. Barangkali Bos berkenan!”
“Terserahlah. Tapi kaupun harus percaya itu. Bahkan sepanjang hidupku, banyak hal-hal yang terjadi lebih hebat dari yang kuharapkan.”
“Aku tak butuh khotbahmu kali ini!”
Tiba-tiba morgin berbicara kepadaku:
“Begini, Bos, sebetulnya yang ingin di katakan Tortotor justru sebaliknya: karena putus asa, hampir semua pekerjaan sanggup dia lakukan!’
Aku memandang kepada Tortotor. Tampaknya dia menyeringai aneh.
“Betul, kau mengatakan begitu?” tanyaku.
“Betul, Tuan!” sahutnya enteng tanpa beban perasaan. “Namun Tuan harus tahu juga: Morgin mempunyai otak terbalik. Sehingga kata-katanya sering terbalik!”
Aku memegang dada. Menahan meluapnya kemarahan. Aku merasa di permainkan lagi oleh kunyuk satu ini.
“Baiklah, bedebah!” jeritku tak terkendali. “Aku lebih mempercayai kata-katamu daripada kata-kata Morgin!”
“Seharusnya begitu, Tuan!”
“Sekarang, kau buktikan kebenaran ucapanmu. Kalau kau memang sanggup melakukan hampir semua pekerjaan!”
“Seharusnya begitu, Tuan!”
“Bawakan aku dua kepala manusia, Bangsat!”
Tanpa mengatakan sepatah katapun, dia pergi. Semula aku berharap ia akan terkejut menerima perintahku itu dan kemudian membantahnya, namun kenyataannya justru sebaliknya. Tortotor keluar rumah begitu saja. Di satu sudut kamarku, tampak Morgin pucat. Keningnya berkeringat. Bulir-bulir keringatnya berjatuhan di bajunya sendiri. aku menangkap kesan kengerian di wajah Morgin.
“Tetapi akulah orangnya, Tuan Zalbak!” katanya tegas tanpa keraguan sama sekali. Seakan-akan ia menangkap sindiranku sekaligus karena ucapannya sendiri. “Dengan tangan ini, kupatahkan segala rintangan, Tuan!”
Mendengar kata-katanya, aku tertawa terbahak-bahak. Anehnya, iapun tertawa meledak-ledak juga.
“Tuan!” katanya kemudian dengan ekspresi bersungguh-sunggu,” janganlah Tuan terlampau terpana pada adat kebiasaan. Tetapi percayalah pula pada adat keluarbiasaan.”
“Apa maksudnya?” Aku penasaran melihat kesungguhannya. “Apakah kau sanggup melakukan sebuah kemustahilan?”
“Itulah yang hendak kukatakan!”
Kudekati ia dan kutarik kerah jaketnya, sehingga wajahnya hampir menyentuh wajahnya. Entah mengapa tiba-tiba muncul kebencian.
“Kau catatlah kata-kataku ini,” ucapku penuh rasa jijik di hati. aku telah bersua ribuan pembohong dan pembual. Namun baru kali ini aku menemukan yang paling istimewa.”
“Itu pula hendak kukatakan, kepada Tuan!”
Mendengar ucapannya, meluap kemarahan. Dengan keras kusentakan kerah jaketnya. Namun, ia sama sekali tak bergeming. Seakan-akan kakinya telah tertanam di tanah.
“Pembohong!”
“Tuan tak percaya kata-kataku!”
“Pembual!”
“Tetapi Tuan keliru,” katanya kemudian. Tangannya menepis tanganku dari kerah lehernya.
“Dengan tanganku ini” kutegakkan sesuatu yang telah runtuh dan keruntuhan sesuatu yang semula tegak!”
“Bedebah,” teriakku tak tahan pada bualannya.
“Aku tak butuh seorang pembohong dan pembual!”
Tortotor tetap berdiri tenang di tempatnya. Seringainya tetap menghiasi bibirnya yang mempunyai bekas sobekkan itu. Aku muak. Semula aku berharap akan berhadapan dengan seorang tangguh luar biasa. Namun ternyata kini yang kuhadapi tak lebih dari seorang pembohong dan pembual. Aku sama sekali tak mempercayai ucapannya. Telah banyak aku merengguk asam garam kehidupan. Bahkan aku dapat menabik dada dengan penuh kebanggaan, bahwa akulah yang telah bersua dengan ratusan Nabi, namun aku tetap kafir. Sekarang bagaimana mungkin aku harus percaya dengan kata-kata orang semacam ini? Kucing alas!
Aku menyambar intercom di laci. Memanggil Morgin untuk mengusir kunyuk ini dari hadapanku. Tak seberapa lamanya, Morgin muncul dengan napas tersengal-sengal.
“Ada apa, Bos?”
“Usir orang ini!”
Seketika Morgin menyadari kehadiran pihak ketiga di kamar itu. Sejurus ia terkejut setelah mengetahui siapa yang telah berhasil memasuki kamar Bosnya.
“Selamat bersua, Gendut!” sapanya kepada Morgin.
“Tortotor!” seru Morgin terkejut.
“Usir dia, Morgin!” aku menjadi muak dengan keterkejutan Morgin. Seakan-akan ia tak pernah bertemu dengan makhluk yang lebih aneh daripada orang ini.
“Cepat lakukan!”
“Tetapi dia memang kuundang datang kemari. Katanya Bos membutuhkan seorang pengawal yang tangguh.”
“Betul, tetapi aku tak memerlukan seorang pembohong dan pembual semacam orangmu ini !” entah mengapa aku begitu membencinya. Kata-katanya yang menyatakan sanggup melakukan segala hak membuatku muak bukan kepalang. Namun jauh di relung batinku sendiri, aku memang tidak menginginkan adanya makhluk yang akan menyamai keperkasaanku. Oh, jangan sampai hal itu terjadi. Akan membuatku sok berat. “Coba kau tanyakan apa yang dia katakan padaku barusan!”
Morgin menoleh penasaran kepada Tortotor.
“Apa yang telah kau koar-koarkan, Tor?”
“Aku mengatakan sanggup melakukan hampir semua pekerjaan, kecuali satu : putus asa!”
Aku mengertabkan geraham. Ada sesuatu yang menyakitkan dalam kata-katanya itu. Putus asa. Membuat aku teringat kepada pembangkanganku sendiri kepada Sang Maha kekasih. Bukankah pemberontakkanku itu tak lain dan tak bukan merupakan menifestasi yang paling halus dari sebuah bentuk keputusasaan. Kecewa. Kebencian. Dan entah apa lagi. Aku tidak menginginkan adanya makhluk yang lebih dekat dan lebih hebat di hadapan Tuhan Allah kecuali aku. Percaya deh, aku pencemburu berat sekali!
Morgin tampak berbicara serius kepadanya. Saling bersitegang.
“Tor,” Morgin meminta pengertian,” jangan mengatakan begitu kepada, Bos!”
“Tetapi kenyataannya begitu. Aku sanggup melakukan hampir semua pekerjaan, kecuali satu : putus asa!”
“Begini saja, cobalah kau balik saja kata-katamu itu. Barangkali Bos berkenan!”
“Terserahlah. Tapi kaupun harus percaya itu. Bahkan sepanjang hidupku, banyak hal-hal yang terjadi lebih hebat dari yang kuharapkan.”
“Aku tak butuh khotbahmu kali ini!”
Tiba-tiba morgin berbicara kepadaku:
“Begini, Bos, sebetulnya yang ingin di katakan Tortotor justru sebaliknya: karena putus asa, hampir semua pekerjaan sanggup dia lakukan!’
Aku memandang kepada Tortotor. Tampaknya dia menyeringai aneh.
“Betul, kau mengatakan begitu?” tanyaku.
“Betul, Tuan!” sahutnya enteng tanpa beban perasaan. “Namun Tuan harus tahu juga: Morgin mempunyai otak terbalik. Sehingga kata-katanya sering terbalik!”
Aku memegang dada. Menahan meluapnya kemarahan. Aku merasa di permainkan lagi oleh kunyuk satu ini.
“Baiklah, bedebah!” jeritku tak terkendali. “Aku lebih mempercayai kata-katamu daripada kata-kata Morgin!”
“Seharusnya begitu, Tuan!”
“Sekarang, kau buktikan kebenaran ucapanmu. Kalau kau memang sanggup melakukan hampir semua pekerjaan!”
“Seharusnya begitu, Tuan!”
“Bawakan aku dua kepala manusia, Bangsat!”
Tanpa mengatakan sepatah katapun, dia pergi. Semula aku berharap ia akan terkejut menerima perintahku itu dan kemudian membantahnya, namun kenyataannya justru sebaliknya. Tortotor keluar rumah begitu saja. Di satu sudut kamarku, tampak Morgin pucat. Keningnya berkeringat. Bulir-bulir keringatnya berjatuhan di bajunya sendiri. aku menangkap kesan kengerian di wajah Morgin.
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment