" BUKU HARIAN IBLIS " (Part 24)

Part - 24

1328495883520465840


Menurut Morgin, untuk mengetahui riwayat Tortotor tak bisa tidak harus melalui orangnya sendiri. Tetapi karena Tortotor tak pernah konsisten menyampaikannya, yang terjadi kemudian banyak orang bersilang-pendapat tentang riwayat hidupnya.

Sedangkan untuk mengorek sendiri latar-belakang hidupnya, seperti membentur tembok gelap lagi pula
“Tuhan itu kaya memiliki takdir!” demikian kata Tortotor seperti melecehkan rasa penasaran orang lain.
 “Dan aku ditakdirkan memiliki takdir. Hebat, ya? Percaya sajalah kata-kataku!

Itulah yang sering diucapkan Tortotor. Membuat orang yang berusaha mengorek masa lalunya harus menelan kekecewaan. Akhirnya, sosok Tortotor yang berkulit hitam cerah, berperawakan sedang dan berambut ikal terjuntai sebahu, lebih menyerupai makhluk misteri daripada makhluk nyata. Namun, orang percaya bahwa Tortotor memang menyimpan banyak rahasia.

Walaupun riwayat hidupnya seakan di selimuti kegelapan, dan tak jarang satu cerita lainnya saling bertolak belakang, Morgin berusaha mereka-reka masa lalu Tortotor.

Entah, karena sebab apa, muncul dalam benak Morgin untuk mengetahui riwayat Tortotor langsung dari orangnya sendiri.

Mulai saat itu, Morgin mengendus-endus jejak Tortotor. Namun seperti dugaan sebelumnya, amat sulit ia mencari Tortotor. Untuk saat yang agak lama, belum juga berhasil mendekatinya. Morgin heran, ketika ia belum menaruh perhatia, Tortotor seakan-akan muncul saban hari dan di sembarang tempat. Setelah ia membutuhkan, seolah-olah Tortotor lenyap.

Akhirnya, keinginan mendekati Tortotor lenyap pula dengan sendirinya. Walaupun dalam hati kecilnya ia masih yakin Tortotor juga manusia seperti dirinya: terdiri atas darah, dan daging; bukan makhluk abstrak, jin atau setan, tak mustahil untuk mendekatinya. Namun ternyata mendekati Tortotor lebih sulit dari dugaannya semula.

Ketika ia sudah melupakan sama sekali keinginannya itu, sekonyong-konyong terjadi suatu yang terduga. Tortotor seperti dilontarkan dari lipatan bumi kehadapannya.

BAR

Di sebuah bar, Morgin melihat kemunculan orang yang selama ini dicarinya. Dan tanpa dinyana, orang itu langsung duduk di sampingnya. Karena pada dasarnya Morgin tak kenal, hanya kenal namanya saja, maka yang terjadi ia menjadi bingung untuk menyapanya terlebih dahulu. Hanya matanya saja terus-menerus memperhatikan Tortotor. itu pun melalui kaca cermin yang ada di belakang meja Bartender
Aku yakin ia manusia seperti diriku, begitu pikir Morgin untuk menghilangkan rasa nervous-nya. 

Di antara lipatan dagingnya ada darah dan tulang-belulang. Ia bukan makhluk halus apalagi setan.
Tiba-tiba darah Morgin berdesir, sepasang mata Tortotor juga menatap tajam kepadanya melalui kaca cermin yang sama. Morgin menjadi gugup dengan kepadanya melalui kaca cermin sama. Morgin menjadi gugup dengan sendirinya. Seakan-akan sorot mata Tortotor telah menelanjangi gejolak pikirannya. ia segera membuang muka. Tanpa dinyana, Tortotor menjawil bahunya.

“Kudengar Bung sudah lama mencariku!”

“Oh, aku …………!” Morgin semakin gugup saja. “Siapa, ya siapa yang menyampaikan kepada Anda ….?”

“Benar, bukan?”

“Oh, aku ………!” Morgin salah tingkah. “Tidak, tidak, oh, maksudku memang benar aku mencari anda. Namun, terus terang itu dulu!”

“Sekarang?”

“Tidak lagi!”

“Mengapa?”

Morgin tak segera menjawab. Ia menjadi bingung, karena tempo hari mencarinya tanpa didasari alasan yang kuat. Ia hanya sekadar ingin memuaskan rasa penasarannya saja untuk mengetahui kebenaran latar belakang Tortotor. Namun setelah waktu berjalan sekian lama, keinginannya itu padam dan membusuk dengan sendirinya. Apa gunanya membuang-buang waktu untuk orang tak menentu ujung pangkalnya itu. Apakah ia memang makhluk setan atau hanya sekadar gelandangan, ia tak peduli.
“Barangkali kelancanganku itu akibat pengangguranku saja,” jawab Morgin datar. “Aku tak punya maksud apa-apa!”

Tortotor tak menunjukkan ekspresi apa-apa.

Dengan duduk saling berdekatan itulah, Morgin melihat sesuatu yang menarik memancar dari Tortotor. Barangkali, ya, barangkali saja Tortotor ini mempunyai karakter yang kuat. Sorot matanya setajam mata elang. Wajahnya mempunyai garis-garis yang tegas dan kuat. Tak bisa tidak, di jidatnya yang berambut sebahu itu tersimpan kemauan yang keras.

Dari balik kaca cermin itu. Morgin terus memperhatikan dirinya. Dari warna-warni lampu, tampak sosok Tortotor semakin berkesan ganjil. Ia berpakaian kaos dari bahan tenun dengan motif relief-relief purba, berlengan panjang dan senantiasa tampak kedodoran.

Pengunjung bar malam itu tak begitu ramai. Disalah satu sudut seorang pianis terus melantunkan lagu-lagu melankolis melalui tuts-tuts pianonya.

Namun irama lagu-lagu itu seperti tenggelam begitu saja. Tak terkesan sama sekali bagi perhatian pengunjung bar itu. Mereka sibuk mengobrol dengan kawan-kawannya atau sibuk dengan botol-botol minumannya sendiri.

Tiba-tiba Morgin melihat satu keanehan lagi, Tortotor sama sekali tak memesan minuman. Ia hanya duduk memperhatikan sekelilingnya. Sesuatu yang tak di harapkan oleh bar mana pun. Namun, tak seorang pun mengusiknya.

Tengah asyiknya mencuri-curi pandang ke arah Tortotor, tiba-tiba Morgin melihat berdiri dan langsung pergi. Setelah orangnya telah pergi, barulah Morgin menyesal. Tak berani berterus terang bahwa sesungguhnya is memang ingin kenal lebih jauh dengannya.

Dengan rasa penasaran, ia segera meninggalkan tempat duduknya. Pergi menyusul ke luar. Bayangan kepergian Tortotor masih tampak di bawah cahaya lampu-lampu neon jalanan. Morgin merasakan adanya suatu dorongan keinginan untuk menguntit ke mana perginya orang itu.

Morgin tak pernah menyangkah kalau Tortotor akan berjalan kaki sejauh itu. Di manakah sesungguhnya rumah kunyuk ini? Pikirnya kesal. Karena setelah sekian lama dan sekian jauhnya ia membuntutinya, tak ada tanda-tanda bahwa Tortotor aka berhenti di suatu tempat. Keringat Morgin sudah membasahi tubuhnya.

Ketika antara rasa kesal dan letih Morgin mencapai klimaksnya. Tortotor memasuki sebuah tanah lapang. Tanah dari sebuah realestat yang lama dibengkalaikan. Tanah lapang itu bekas tanah persawahan rakyat. Kini seantero tanah persawahan itu nyaris hanya ditumbuhi semak dan ilalang.
Morgin mulai ragu untuk mengikuti langkah orang itu. Bahkan rasa cemas tiba-tiba menyergap nyalinya. Ya, serta-merta Morgin di bayang-bayangi perasaan takut dan ngeri. Hanya keturunan setan saja yang sudi tinggal di daerah pinggiran ini, pikirnya. Dengan perasaan itu, seketika Morgin menoleh ke kiri-kanannya. Memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sepi dan senyap. Bias cahaya lampu hanya tampak remang-remang di kejauhan. Setan alas Tortotor ini!

Di saat itulah Morgin kehilangan jejaknya. Atau memang karena Morgin kehilangan keberanian untuk terus mengikutinya. Di pelipir tanah lapang itu Morgin berusaha menangkap bayangan kepergian Tortotor. Dan dadanya berdegup keras, darahnya berdesir. Simpul syarafnya sekonyong-konyong tegang. Di antara keremangan malam, Morgin melihat sosok bayangan kelabu berdiri tegak di tengah tanah lapang itu.

Betul-betul setan orang ini, pikir Morgin mengumpat. Ya, tak bisa tidak, sosok bayangan yang kini berdiri di tengah-tengah gerumbul ilalang itu tak lain dan tak bukan memang makhluk terkutuk. Walaupun malam itu saat rembulan bagaikan bayangan tua, namun Morgin seakan-akan sanggup melihat jelas kepadanya. Di antara keremangan malam, Morgin melihat Tortotor juga sedang memperhatikan dirinya. Bahkan sorot mata elangnya, seakan-akan sanggup menembakkan perasaan giris dalam hatinya.

Tak menunggu waktu lebih lama lagi, Morgin segera pergi meninggalkan tempat itu. Sewaktu meninggalkan bekas tanah persawahan itu, langkah kakinya terasa berat sekali. Sialan betul!

Keesokan harinya, dengan sebuah taksi Morgin kembali ke bekas tanah persawahan itu. Ia tak mengerti mangapa

hasratnya untuk menjumpai Tortotor di tempat itu begitu besar. Seakan-akan dapat menemukan Tortotor di tempat seperti itu, menambah keyakinannya bahwa orang itu tak lain dan tak bukan memang makhluk gentayangan alias setan!

Tanah persawahan

Namun, Morgin hanya menangkap kelenganan sebuah tanah lapang. Di seantero bekas tanah persawahan itu tak ada sebuah bangunan apa pun. Bahkan kelebat orangpun tak ada. Betul-betul yang ada hanya sepi dan lengang. Morgin kecewa. Entah mengapa jauh dilubuk hatinya ia justru lebih senang kalau dugaannya betul bahwa Tortotor memang sejenis makhluk keparat.

Setelah lama termangu-mangu di sana, Morgin segera meninggalkan tempat itu. Dan kini ia harus berjalan kaki untuk mencapai jalan besar, ia menyesal tidak menyuruh taksinya menunggu. Sialan betul!
Malamnya Morgin mencarinya ke bar yang sama. Ia mengharapkan Tortotor akan muncul lagi di tempat itu. Dengan mengambil tempat duduk yang sama di meja bartender, ia mengawasi pengunjung satu persatu. Namun, orang yang di carinya tak menampakkan batang hidungnya. Barangkali ia tak akan muncul malam ini, pikir Morgin menghibur diri, karena dilihatnya pengunjung bar malam itu memang tak begitu ramai.

Dengan perasaan malas, ia beranjak hendak pergi. Namun, sekonyong-konyong muncul seseorang dari pintu masuk. Tortotor!


” Karya Herly Sauri 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment