Part - 25
Malam itu, Tortotor tetap berpakaian dengan mode yang sama dari sebelumnya, kaos berlengan panjang yang senantiasa nampak kedodoran. Hanya saja warnanya berganti hitam.
Seperti sebelumnya, Tortotor langsung mengambil tempat duduk di meja Bartender. Di samping Morgin sendiri.
“Bung sudah agak lama mencari, bukan?” tanyanya tiba-tiba.
Karuan saja Morgin menjadi gugup. Keringat dingin sekonyong-konyong menguncur. Degup dadanya berpacu lebih keras lagi.
“Oh, aku ………..!” Morgin menjadi bertambah salah tingkah. “Tidak, tidak; oh maksudku memang benar mencari Anda. Tetapi sekarang tidak lagi!”
“Benar?’
“Sungguh!”
“Berani sumpah disambar api neraka jahanam!”
Tanpa dinyana sama sekali, tiba-tiba Tortotor terbahak-bahak dengan suara tertahan. Tentu saja, Morgin menjadi gelisah.
“Mengapa Anda tertawa?”
Tortotor tetap terbahak dengan suara tertahan.
“Ada yang lucu, ya?”
“Oh, tentu saja!” sahutnya ringan.
“Apa itu?”
Sejurus Tortotor tajam ke arahnya. Sorot matanya menunjukkan kesungguhan.
“Bung,” katanya kemudian,” ketahuilah bahwa aku adalah orang yang tak pernah memilih-milih kata untuk menyenangkan orang lain. Sebagaimana makhluk apabila seorang hanya mengatakan kebenaran saja, bisa dipastikan banyak orang tak menyukainya. Ia bahkan mengalami yang sepi. Sebaliknya, orang yang mempunyai banyak teman, bisa di pastikan orang itu senantiasa memilih-milih ucapan untuk menyenangkan para sahabatnya”.
Morgin terkesiap, ia mengerti arah sindiran lawan bicaranya. Diam-diam perasaan malu menjalari hatinya. Mengapa aku harus berbohong kepadanya, bahwa sesungguhnya aku telah berulangkali mencarinya. Dan setelah jarakku dengannya sudah tercapai, tiba-tiba aku merasa enggan meneruskan niatku itu.
Morgin menjadi gelisah. Gelas minuman yang terlanjur di letakkan, kembali di angkatnya. Dengan sekali tegukan, ia tenggak sisa minumannya. Ia berharap kegelisahannya turut lenyap. Namun, tetap saja ia gelisah. Selanjutnya, ia sungguh merasa tertekan.
Pelan-pelan ia beranjak. Berharap Tortotor tidak akan memperhatikan kepergiannya. Namun ia keliru, sebelum kakinya sempat melangkah, tangan Tortotor telah memegang bahunya.
“Bung, ada yang ingin kusampaikan sebelum kau pergi!”
“Apa itu?” Morgin menelan ludah.
“Orang yang melakukan kebohongan lewat lidahnya memang bersumber dari dasar perutnya, mayatnya hanya pantas di salib dan di buang ke tempat sampah.”
“Apa maksud kata-kata kasar itu?” Morgin mengertabkan geraham.
Tortotor menyeringai. Dengan hati kesal, Morgin kembali ke tempat duduknya yang di samping Tortotor.
“Katakan apa maksudmu!”
“Hanya pembohong yang patut di ramalkan dengan buruk!”
Morgin mendengus. Namun tak pelak hatinya merasa panas mendengar kata-kata Tortotor tadi. Hanya saja, ia berusaha menahan diri.
“Aku……… memang sudah agak lama mencarimu, bung!” katanya kemudian. “Namun, seperti yang kukatakan sebelumnya, aku mencari Anda tanpa ada maksud dan tujuan yang jelas. Akhirnya, kuputuskan untuk mengurungkan saja maksud itu!”
“Mengurungkan apa?”
“Mencari tahu tentang latar belakang Anda!”
“Untuk apa?”
“Tak tahu. Barangkali tindakanku itu karena di pengaruhi pengangguranku saja. Mengapa Anda yang tampak tanpa kerja, dapat bertahan hidup di kota besar ini.”
Tortotor menatap Morgin sejurus.
“sebentar lagi Anda bukan pengangguran lagi!”
“Bagaimana Anda tahu?”
“Itulah yang tak mungkin kukatakan!”
“Mengapa?”
Tortotor membuang pandang. Matanya menatap berkeliling. Memperhatikan para pengunjung bar.
BAR
“Anda perhatikanlah orang-orang di sekeliling kita ini, Morgin,” katanya kemudian. “Banyak di antara mereka ini hidup dalam dunianya sendiri-sendiri”.
Morgin tercenung.
“Seandainya aku berbicara dengan mereka, kemungkinan besar tak akan berbeda dengan tembok-tembok beku dan kosong!” kata Tortotor.
Morgin tersentak, ia merasa tersindir.
“Bung,” tukas Morgin,” perlu kusampaikan, aku memang di lahirkan bukan dengan otak cemerlang. Bahkan sepanjang hidupku hanya di penuhi kesintingan. Aku menyadari betapa kacau-balau dan tidak bahagianya hidupku. Maka jangan salahkan, kalau akhirnya Tuhanku yang riil, bukan lagi yang bersifat spiritual, namun berupa kesenangan materi. Ya, aku orang kelaparan di tengah kelimpah-ruahan materi. Kapan saja aku bersedia menjadi makhluk terkutuk sekalipun asalkan perutku terisi makanan.”
Tortotor mendengar ucapan Morgin penuh perhatian.
“Katakanlah apa pun kenyataannya yang Bung kehendaki,” pinta Morgin. Kata-kata tanya mengandung harapan. “Pertama Bung meramalkan diriku dengan sebuah ke kemusykilan karena aku telah berani berbohong. Kedua, Bung telah meramalkan sebuah harapan hidupku. Namun, aku tak peduli. Yang kubutuhkan aku bisa hidup dengan perut yang di ganjal makanan. Aku sudah muak jadi orang comberan!”
“Anda bersungguh-sungguh?”
“Ya, aku sangat bersungguh-sungguh. Kesulitan hidup telah membuatku bertindak tidak rasional lagi. Misalnya, mengendus-endus jejak Anda. Tak lain dan tak bukan merupakan tindakan untuk melarikan diri dari kenyataan.”
Sejenak keduanya bungkam.
“Baiklah,” kata Tortotor dengan nada ringan. “Sekarang ikuti aku.”
Tortotor beranjak keluar. Morgin mengikuti di belakangnya. Di luar, mereka menghentikan sebuah taksi. Tortotor membisikan tujuannya kepada sopir. Morgin heran, mereka seperti saling kenal.
Rumah mewah
Taksi langsung menuju ke kawasan elite. Di depan sebuah rumah mewah, sopir menghentikan kendaraannya. Namun, Tortotor tetap duduk di dalam kendaraan. Dengan isyarat tangan, ia menunjuk ke arah rumah itu.
“Ada apa dengan rumah itu, Bung?” tanya Morgin heran.
“Itulah bakal majikanmu!”
“Bagaimana mungkin. Menginjakan kaki saja, aku belum pernah ke rumah itu.”
“Itulah salah satu kedongkolanmu, Morgin!”
“Aku tak mengerti maksud Anda!”
Tortotor diam sejenak. Matanya tetap menatap kearah rumah mewah di depannya. Dari jalanan, tampak rumah mewah itu mirip sebuah istana. Bermandikan cahaya lampu. Sungguh hampir tak rasional, hanya untuk tempat tinggal saja seseorang perlu membangun sebuah rumah seperti istana seluas lapangan bola.
“Jika membutuhkan majikan, dia orangnya. Hampir segala bidang kehidupan berada di tangannya. Dari benda mati sampai makhluk hidup dapat ia perdagangkan”.
Morgin mengerutkan kening. Ungkapan Tortotor terdengar sangat tajam dan sinis.
“Ucapkan dengan ungkapan-ungkapan yang sederhana saja!” pinta Morgin, mengeluh pada keterbatasan otaknya. “Jangan menyembunyikan maksud sesungguhnya di balik kata-kata.”
Tortotor tertawa terbahak-bahak.
“Baiklah, Morgin,” Tortotor tersenyum. “Orang yang bakal menjadi majikanmu itu perpanjangan tangan dari dari sebuah kekuasaan. Kekuasaan pemerintahan yang nyaris seluruh bidang kehidupan dapat di kuasai. Dapat di katakan kekuasaannya itu dapat di ibaratkan sanggup menentukan denyut napas penduduk negeri.
Dan cara politik orang-orang sejenis bakal majikanmu itu, tak peduli walau harus melakukan pembujukan, penyogokan, penipuan, kebohongan. Atau dengan kata lain, mereka berusha memanipulasi unsur-unsur yang mengendalikan kehidupan masyarakat. Mereka mengeksploitasi para politikus menjadi perpanjangan tangan mereka, sehingga para petualang politik itu dengan sukarela pula mengeksploitasi rakyat pemilihnya sendiri. Mereka memonopoli hampir seluruh kegiatan ekonomi, sehingga mereka mampu menentukan baik-tidaknya perekonomian rakyat.
Dan lebih jauh pula, di bidang sosial dan budaya, mereka tentukan sesuai dengan kepentingannya, dari seni, kebudayaan, sampai kepada agama sekalipun, mereka kemas sebagaimana mereka memperdagangkan barang kelontong!”
Morgin bertambah mengernyitkan kening. Otaknya semakin mampet untuk di ajak berpikir.
“Baiklah, baiklah, aku tak peduli apa pun dan siapa pun yang bakal menjadi majikanku itu,” katanya kemudian, mirip sebuah keluhan panjang. “Yang penting kata-kata Bung bukan hanya berhenti sebagai ramalan. Aku menginginkan sebuah kenyataan. Aku sudah hampir membusuk sebagai pengangguran.”
Tortotor tersenyum.
“Lantas sekarang, bagaimana aku harus berhasil bekerja kepadanya?”
“Dia itu mempunyai banyak orang-orang pilihan, Morgin!” kata Tortotor. “Maka salah satu pilihan yang tepat, tunjukan dirimu sebagai yang terbaik.”
Morgin terdiam sejenak. Kemudian, ia mengangguk-angguk.
“Kalau yang ini aku mengerti?”
Tak lama kemudian, Tortotor menyuruh sopir kembali ke pusat kota lagi. Tepat di taman kota, ia menyuruh taksi berhenti. Setelah berbincang-bincang sebentar dengan sopir, ia langsung keluar.
“Lo, Anda mau kemana?” tanya Morgin heran.
“Aku sudah menyuruh sopir mengantarmu sampai ke rumah!”
Tanpa menunggu reaksi Morgin. Tortotor pergi tanpa menoleh lagi. Ia menyeberang taman kota. Morgin hanya bisa menatap kepergiannya dengan terlongong-longong. Sampai akhirnya, bayangan Tortotor lenyap, dan Morgin masih di landa keheranan dan penasaran.
Tanpa di sadari, taksi yang di tumpangi telah melaju lagi. Tapi tak lama kemudian, sopirnya menghentikan
kembali.
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment