Part - 26
“Kemana tujuan Bapak?” tanya sopir taksi itu sambil tersenyum ramah. “Jangan risaukan, kemana pun akan ku antarkan!”
“Tetapi………….”Morgin gugup. Bagaimana perjumpaan dengan Tortotor masih membingungkan. Apalagi di sakunya sudah tak tersisa uang sepeser pun, bagaimana mungkin ia harus membayar taksi. Kini ia menjadi gugup dan bingung. Sungguh sialan Tortotor telah membiarkan aku seorang diri. “Ya, ya, aku aku harus berterus-terang bahwa….!”
“Jangan khawatir,” tukas sopir itu cepat, “Bapak tidak usah keluar biaya lagi.”
“Apa?
” Tortotor telah membayarnya?”
“Begitulah,” jawab sopir itu ringan. “Tetapi tepatnya, aku tak rela menerima sepeser pun uangnya. Aku hanya sekadar membalas budi kepadanya!”
“Apa?” Kau telah kenal Tortotor?”
“Begitulah!”
Morgin segera beranjak pindah duduk ke samping sopir.
“Tolong, ya tolong katakan bagaimana kau sampai mengenalnya”.
Sopir itu tak jadi menjalankan taksinya. Bahkan kemudian, ia mematikan mesin taksinya. Sejenak ia bungkam. Matanya menatap jalanan di depannya. Menatap malam yang bermandikan cahaya lampu. Kota seakan-akan tak pernah lelap. Jantungnya terus berdegup dengan lalu lalangnya beratus-ratus kendaraan yang melaju di jalanan tak putus-putusnya. Ia mendengus.
“Aku kenal dia melalui kebaikkannya, Pak!”
“Apa maksudmu?” tanya Morgin tak sabar. Penasaran.
“Pada suatu malam, aku tengah beroperasi di sebuah hotel berbintang.Seorang perempuan muda memakai jasa taksiku. Tanpa menaruh curiga sedikit pun, aku langsung membawanya ke tempat tujuan yang dikehendaki.”
“Hendak kemana ia?”
“Tempat biasa, Pak?”
“Tempat biasa bagaimana maksudmu?”
“Pelacuran terselubung. Rumah mewah yang dipakai sebagai tempat mangkalnya perempuan-perempuan panggilan”.
“Oo. Bisa kuterka kalau kau tahu tempat itu karena biasa mengantar orang-orang ke sana!”
“Ya, itu dulu, Pak!” jawabnya lirih. “Sebagai orang bawah, maka semua peluang tidak di lewatkan untuk menambah-nambah penghasilan. Hasilnya memang lumayan. Bahkan terkadang lebih besar daripada pekerjaan pokok sebagai sopir taksi. Aku bisa mengantar perempuan-perempuan itu ke tempat-tempat tertentu. Atau sebaliknya, membawa perempuan-perempuan itu ke orang-orang penting yang ingin memuaskan nafsunya. Ya, secara tak langsung aku turut memperdagangkan mereka.”
“Lantas mengapa sekarang tak lagi melakukan kerjaan sambilan itu ”.
Sejenak sopir taksi itu membuang pandang. Matanya kembali menjilati jalanan. Di keramaian lalu lintas malam itu ia menangkap ironi. Sungguh kerasnya hidup ini. Tak menyediakan tempat bagi yang lemah dan lamban. Seperti dirinya, tergilas oleh roda-roda kehidupan.
Diam-diam ia mengusap air matanya. Menyembunyikan isak tangisan.
“Tampaknya kau tak begitu senang mengenangnya………..?” tanya Morgin hati-hati. “Maafkan kalau begitu pertanyaanku tadi!”
“Akh, tidak apa-apa. Barangkali hal itu memang pantas terjadi pada orang-orang seperti diriku. Keserakahan itu bisa hinggap pada siapa saja. Bisa menjangkiti orang-orang berharta, bisa juga hinggap pada orang-orang yang hidup serba kekurangan. Ya, aku memang korban dari keserakahanku sendiri.”
Setelah ia menyeka air matanya lagi. Morgin pun hanya diam mematung, ia tak mengerti sampai turut hanyut pada gejolak emosi kesedihan sopir taksi itu.
“Setelah sekian lama aku ikut menikmati hasil uang haram itu, kebusukan pun akhirnya menghasilkan kebusukan. Pada suatu hari, seorang pejabat penting menyuruhku untuk menjemput seorang perempuan di tempat yang tak seperti biasanya. Ya, aku harus mengambilnya di sebuah sekolah…………”
Sampai di situ, sopir itu meraba keningnya. Di antara keremangan malam. Morgin melihat jatuhnya air mata sopir setengah baya itu. Walaupun tak terdengar sebuah isak tangis, namun hati Morgin seakan-akan menangkap beribu-ribu jeritan yang menyayat hati. Lelaki yang menangis memang sanggup menghantamkan keharuan yang lebih mendalam. Karena bagaimana pun seorang lelaki ibarat sebuah cadas dalam menghadapi hidup ini. Tetapi seorang lelaki berhak untuk menangis, apabila ternyata api kehidupan telah menghentak-hentakkan nasibnya.
Sopir itu telah bungkam. Gerahamnya bergeletukan. Morgin pun berusaha untuk bungkam juga.
“Ya, siapa kira, Pak, ternyata perempuan yang kujemput untuk di mangsa pejabat penting itu tak lain dan tak bukan adalah anakku sendiri. Darah dagingnya sendiri. Anak perempuanku satu-satunya. Anak yang tampak alim itu ternyata menjadi salah satu korban keserakahanku sendiri………!”
“Lo, mengapa kau menyalahkan dirimu sendiri?’ tanya Morgin heran.
“Oh, rupanya Bapak ini tidak begitu paham terhadap penyampaianku barusan……..!”
“Maksudmu?”
“Setiap anak di lahirkan dalam keadaan fitrah ke dunia ini. Namun setiap anak memerlukan makan untuk bertahan hidup. Ketika darahnya yang mengalir di setiap pori-pori tubuhnya telah menjadi kotor oleh barang-barang kotor, maka kesucian fitrahnya pun berubah menjadi kotor pula. Otak dan hatinya menjadi tak jernih. Dari sinilah perbuatan-perbuatan setaniah bermula. Ya, tanpa sepengetahuan dan tanpa kusadari, anakku telah menjadi seorang perempuan panggilan…………!”
“Tentu kau marah melihat kenyataan itu, bukan?”
“Hanya setan saja yang tak peduli anaknya melacurkan diri. “Katanya sengit. “Pada saat itu pula, aku menjadi
pula, aku menjadi mata gelap. Aku ingin membunuh anakku sendiri. Namun rupanya anakku menyadari adanya bahaya mengancam jiwanya. Ia mengetahui kedatanganku. Sebelum aku berhasil
menangkapnya, seorang lelaki bersepeda motor membawanya lari. Sejak saat itulah, aku kehilangan anakku satu-satunya itu. Aku frustasi”.
Morgin menghela napas panjang. Betapa banyaknya peristiwa-peristiwa tragis terjadi di sekelilingnya. Hampir terpampang di setiap tempat dan kesempatan. Namun, orang-orang tidak lantas menjadi arif karenanya. Roda kehidupan terlampau cepat dan keras untuk menyediakan kesempatan merenungkan kembali peristiwa demi peristiwa.
“Apa yang telah di buat Tortotor kepadamu?” tanya Morgin datar.
“Pada suatu hari, ia menjumpai aku,” sahut sopir itu. Matanya kembali terlontar ke jalanan. Menatap jatuhnya larut malam. “Pada mulanya aku tak peduli. Perlu apa aku mempedulikan orang yang tak kukenal tiba-tiba menyapaku di taman kota itu. Namun, ia menyebutkan nama anakku, serta-merta aku di kuasai kemurkaan yang luar biasa. Tak mustahil laki-laki aneh itulah yang telah menyeret anakku ke lembah pelacuran. Ternyata ia diam saja ketika kecengkeram kerah baju jaketnya.
Maka kemudian, aku sadar. Paling tidak ia mempunyai maksud tertentu menyapaku. Ketika itulah ia mengatakan tahu di mana tempat anakku berada. Maka kukatakan kepadanya, kalau aku ingin mencari dan ingin anakku itu kembali kepadaku.
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment