" BUKU HARIAN IBLIS " (Part 27)

Part - 27


1328748602741614765

Tanpa di sangka-sangka, ia justru mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginanku itu. Semula aku menduga ia akan membantuku untuk mengembalikan anakku, ternyata ia bermaksud sebaliknya.”

“Apa maksudmu?” tanya Morgin mengernyitkan kening. Ia merasa sesuatu yang ganjil telah terjadi antara Tortotor dengan sopir itu. “Coba katakan dengan jelas dan singkat”.

Sopir itu tak segera menjawab. Ia justru tertunduk. Menekankan keningnya pada  kemudi taksinya. Barangkali ia mencoba melawan emosinya sendiri yang bergolak. Entah kesedihan atau bahkan kemurkaan yang tertundah?

“Lelaki itu, Pak; justru mendatangiku bukan untuk membantuku menemukan anakku. Tetapi lelaki itu meminta izinku untuk membunuh anakku …………!”

“Apa ……….???” Morgin hampir terlonjak mendengar cerita itu. Ia hampir tak mempercayai andaikata tak mendengarkan langsung dari orangnya sendiri. “Apa betul ia meminta izin membunuh anakmu?”

“Betul!” sahutnya lirih. “Tentu saja, aku menjadi murka karenanya. Entah mengapa tiba-tiba muncul naluriku selaku seorang ayah. Naluri untuk senantiasa melindungi anak. Aku yang semula menginginkan kematiannya, tiba-tiba menjadi tak rela ketika ada orang lain yang bermaksud membunuh anakku itu. Aku merasa sesuatu yang menjadi milikku, serta-merta seperti ada yang hendak merampas dari genggamanku. Aku menjadi murka!”

“Lantas apa yang ia lakukan kemudian?” tanya Morgin menahan napas. Cerita sopir itu diam-diam menusukkan sesuatu yang amat tidak rasional. Seakan-akan Tortotor yang di gambarkan sopir itu merupakan makhluk mengerikan yang datang dari kegelapan. Ya, bagaimana mungkin manusia normal bisa menghalalkan darah sesamanya begitu saja? Morgin merasa mengendus-endus sesuatu yang memang irrasional. “Ya, apa yang ia lakukan kepadamu?”

“Tidak ada. Ya, tidak ada. Ia menerima kemurkaanku dengan sikap dingin,’’sahutnya. “Namun, ia bertanya apakah aku sudah siap menerima kembali anakku itu”.

“Apa jawabmu?”

“Aku katakan siap. Maka pada suatu pagi buta, anakku telah berdiri di depan pintu rumah. Katanya seorang lelaki telah mengambilnya dari majikannya dengan paksa dan mengantarkannya pulang. Aku yakin lelaki itu tak lain dan tak bukan lelaki yang sama dengan yang menyapaku di taman”.
“Tortotor?”

“Ya!” kembali ia tertunduk. “Tetapi, ternyata ia benar. Aku tak siap menerima anakku apa adanya. Anakku yang telah kembali  ternyata bukan anakku. Ia orang lain. Hidup dengan dunianya sendiri. Dan aku merasa hidup dengan setumpuk kotoran. Barangkali secara lahiriah, ia memang pernah lahir dari rahim istriku , hasil dari benih yang di pancarkan dari tulang syulbiku sendiri. Namun ternyata ia tak lebihnya lahir sebagai setumpukkan kotoran. Walaupun ia telah kembali pulang, ia tetap hidup sebagai pelacur. Pada saat itulah timbul penyesalan mengapa dulu aku pernah mengharapkan ia kembali. Barangkali kematiannya lebih baik daripada hidupnya yang sekarang.”

Morgin mendengus. Entah apa yang bersarang di otaknya, ia sama sekali tak tahu. Karena memang otaknya sulit untuk diajak berpikir.

“Dalam penyesalan yang dalam dan kemurkaan yang tertahan, tanpa terduga aku sering mengunjungi taman kota. Maka pada suatu hari, lelaki itu datang lagi menyapaku”.

“Dengan maksud yang sama?” desak Morgin ingin tahu.

“Ya!”

“Gila!” desis Morgin penasaran. “Barangkali ia makhluk paling bangsat yang pernah kudengar!”
“Pada mulanya, aku memang berpandangan begitu!”

“Apa?” teriak Morgin dengan suara tertahan di kerongkongan. “Kau membenarkan kegilaannya?”

“Ya,” sahutnya lirih. “Aku menangkap kebenaran hakiki dari kegilaannya ketika aku mendengarkan penjelasannya.”

“Gendeng, dogol, tolol,” umpat Morgin. ”Apa yang ia katakan?”

“Menurut lelaki aneh itu, perbuatan manusia, dari satu sisi dapat di katakan sebagai makhluk Allah. Dari sisi yang lain sebagai akibat perbuatan manusianya sendiri. Karena itu, kita mengenal dua macam izin dari Allah: secara takwini dan syar’i. Ketika Allah menciptakan manusia di bekali potensi untuk memilih antara yang baik  dengan yang buruk. Seluruh potensi itu dalam pengertian izin takwini, manusia di beri hak penggunaan. Maka dalam pengertian izin syar’i, Allah tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan manusianya sendiri. Karena perbuatan merupakan iradah manusia. Sedangkan potensi hanya merupakan wujud yang belum sempurna.”

“Tetapi aku belum melihat adanya alasan yang kuat dari maksud gilanya itu, Pir!” tukas Morgin. “Coba terangkan dengan singkat dan jelas.”

“Baiklah, Pak!” keluh sopir itu. Secara hakikat, Tortotor mengatakan bahwa anakku  itu sebetulnya telah mati dan tiada”.

“Apa maksudnya?” tanyak Morgin semakin suntuk.

“Ia mengungkapkan pengertian secara baik dan buruk. Menurut lelaki itu. Kebaikkan bersumber dari keberadaan. Sedangkan keburukkan bersumber dari ketiadaan. Dikatakan, semua keberadaan yang diciptakan Tuhan adalah baik. Apa yang menunjang keberadaan dan kesempurnaan dikatakan baik. Misalnya untuk manusia: hidup, ilmu, makanan, anggota badan, dan lain-lain, dikatakan baik karena berkenan dengan keberadaan yang menunjang kebutuhan dan kesempurnaan hidup manusia.

Namun sebaliknya sebagai misal: mati, bodoh, buta, racun, dikatakan buruk. Bukan karena keberadaannya semua hal itu, namun karena masing-masing menerangkan atau menyebabkan ketiadaan. Sebagai contoh: mati menerangkan ketiadaan hidup.

Bodoh menerangkan kurangnya kesempurnaan; buta menerangkan ketiadaan penglihatan; racun menyebabkan kematian. Oleh karena itu, keburukan  bersumber dari ketiadaan. Kemudian di simpulkan keburukan itu tidak mempunyai eksistensi.. Karena keburukan itu sama dengan ketiadaan maka tidak memerlukan adanya pencipta. Sebab memang tidak ada apa-apa atau sama dengan ketiadaan.”

Morgin hendak menyela. Namun ia diam kembali. Ada sebuah pengertian yang diam-diam menyelinap ke dalam ke sadarannya. Walaupun ia tak mengerti betul apa yang telah merasuk ke dalam palung batinnya itu. Sialan banget dengan otakku ini, umpatnya pada kebodohannya sendiri.

“Dari penjelasannya itu, ia mengatakan bahwa sebetulnya anakku tak pernah ada. Perbuatan buruknya telah menyebabkan hilangnya fitrah sucinya selaku manusia. Ia menuju dan membawa kehancuran bagi kesempurnaan hidup manusia. Maka ia pantas untuk mati!”

“Gila, gendeng, setan semuanya!” umpat Morgin. “Kini aku tak tahu lagi, mana yang lebih gila, kau atau Tortotor!”

“Dalam kebenaran tak ada gilanya!”

“Lantas apa yang terjadi kemudian?” teriak Morgin.



 Karya Herly Sauri “

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment