Part - 28
“Aku izinkan ia membunuh anakku,”
katanya dingin. “Pada suatu malam, kubawa anakku menemuinya di taman kota. Kemudian, ia membawanya ke sebuah tanah lapang. Tempat itulah, aku semakin yakin, bahwa tindakanku itu benar!”
“Sinting. Kau anggap benar menyerahkan anakmu untuk di bunuh oleh biang setan itu!” sergah Morgin muak. “Mengapa anakmu tidak memberontak?”
“Aku tak tahu. Bahkan dengan sapaan dan sentuhan nasehatnya, anakku menjadi pasrah berada di bawah kekuasaan tangannya.
Di antara kegelapan malam itulah, ia mengambil jiwa anakku.”
“Sungguh-sungguh ia membunuh anakmu?”
“Sungguh-sungguh ia mengambil anakku?”
“Ia membunuh anakmu!”
“Ia mengambil jiwa anakku!”
“Gila, sinting, gendeng!”
“Biarlah, biarlah, biarlah!” tukasnya di tengah isak tangisnya. “Karena ternyata hanya dengan usapan tangannya di kepala anakku, kulihat jiwa anakku mengucur dari ubun-ubunnya. Di antara kegelapan malam itu, seberkas cahaya putih kemilau seakan-akan terpencar dari sekujur tubuh anakku itu dan mengucur melalui ubun-ubunnya. Oh, Maha Suci Allah, Maha Suci Allah. Dialah yang Maha Pemilik Kegaiban. Kepada Allah semua yang hidup dan yang mati kembali!”
Morgin lemas. Ia terhempas ke tempat duduknya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Ia tak kuasa lagi mendengarkan kata-kata sopir setengah baya itu.
Ketika sopir itu hendak melanjutkan kata-katanya dengan sekuat tenaga Morgin melompat keluar dari kendaraan itu.
“Diaaaaaam, diaaaaaam, diaaaaaaam …….!” di tengah-tengah larut malam itu, Morgin berteriak-teriak sambil berlari. Meninggalkan sopir taksi itu terlongong-longong sendirian. “Gila, sinting, gendeng!”
Berhari-hari sejak malam itu, Morgin mengurung diri di kamarnya yang pengap. Entah mengapa ia seperti kehilangan gairah untuk keluar dari perkampungannya yang kumuh.
Setelah sepuluh hari lewat, kejenuhannya mulai menggeliat. Aku harus keluar, pikirnya. Paling tidak berusaha menemukan pekerjaan. Agar aku tidak mati membusuk sebagai pengangguran. Atau setidak-tidaknya sekadar menghirup udara segar.
Bagaikan seekor tikus yang keluar dari liang persembunyiannya, Morgin keluar dari perkampungan kumuh itu, namun, ketika kakinya mulai melangkah meninggalkan perkampungannya, ia dihantui perasaan cemas. Kalau berada di tempat sepi, seakan-akan ada yang mengendap-endap mengikutinya. Kalau berada di tempat ramai, seakan-akan ada sepasang mata yang tajam mengawasinya. Tentu saja ia menjadi jengkel. Slompret, pengecut benar aku!
Plaza
Akhirnya aku, ia kelayapan tak menentu. Tanpa sengaja, ia pergi ke plaza yang ada di tengah kota. Ketika kepalanya mulai berkunang-kunang karena perut yang lapar, ia berhenti di salah satu sudut plaza itu. Disaat itulah, ia mendengarkan pembicaraan dua orang. Morgin terkejut, karena pembicaraan yang di dengar tanpa sengaja itu sungguh tak terduga. Mereka berada di balik tiang beton yang di sandarinya.
“Barangkali Bangsat Zalbak itu akan membawa uang tunai sendiri dari bank itu ……..,” kata seorang di antaranya.
“Aku tak peduli apakah ia membawa uang atau tidak, manusia kotor macam Zalbak itu mesti mampus. Sudah cukuplah petualangan kotornya di negeri ini,” tukas satunya dengan nada geram. “Pergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, sebelum kelompok lain mendahului kita untuk menghabisinya.”
Morgin pergi menjauh. Matanya menatap berkeliling. Ia memperhatikan jarak bank yang ada di sebelah plaza dengan kedua orang itu. Berarti dua orang itu menunggu munculnya Zalbak keluar dari bank itu. Dan bisa di ramalkan keduanya akan memotong jalan kendaraan Zalbak. Karena jalur jalan di depan plaza itu hanya satu arah.
Dengan pura-pura masuk ke ruang telepon, Morgin menunggu detik-detik terjadinya peristiwa itu. Dadanya berdegup-degup kencang. Sekarang saatnya aku harus melakukan sesuatu, pikirnya.
Dari pintu parkir yang ada di lantai dasar bank itu, keluar sebuah mobil limousine. Morgin melongok kearah dua orang yang ngincar Zalbak. Seorang di antaranya, mengambil sebuah sepeda motor. Sedangkan seorang lainnya, berjalan ke trotoar. Dari balik kaca ruang telepon itu, Morgin melihat orang yang ada di trotoar mengeluarkan sepucuk senjata otomatis.
Morgin semakin menahan napas ketika mobil limousine itu semakin dekat.
Peristiwa yang terjadi kemudian berlangsung sedemikian cepatnya.
Shooter
Ketika mobil limousine itu meluncur di depan plaza, sepeda motor itu pun melesat dari arah areal plaza. Langsung memotong lajunya sedan panjang itu. Tentu saja insiden tak dapat lagi di hindari. Moncong limousine itu menghajar sepeda motor itu dari arah samping. Sepeda motor itu terpental. Dan pengendaranya ikut terseret beberapa meter. Terkapar tak bangkit-bangkit lagi.
Mobil limousine itu terhenti seketika.
Dalam sekejab, orang yang memegang senjata otomatis yang bersiaga di trotoar, berhambur kearah limousine itu. Kemudian terdengar letusan senjata otomatis yang menumpahkan pelurunya kesekujur badan mobil panjang itu.
Tidak itu saja, pengendara sepeda motor yang terkapar, tiba-tiba bangkit juga. Di tangannya tergenggam senjata yang sama. Dalam waktu yang relatif singkat, seluruh badan mobil nahas itu penuh lubang. Namun ternyata mobil itu tahan peluru. Lubang-lubang bekas hantaman peluru itu hanya merusak bagian luarnya saja. Bahkan kacanya tak tembus oleh hajaran peluru.
“Bangsat!” teriak seorang di antara pencegatnya,” mobil itu tahan peluru!”
“Cepat lemparkan granat ke bawah badan mobil!” teriak temannya. “Cepat laksanakan!”
Pengendara sepeda motor itu segera menyambar granat dari saku jaketnya. Dengan cekatan, sebutir granat telah di-lemparkan ke bawah badan mobil. Sebu-ah ledakan cukup menggetarkan sekitar-nya terdengar dahsyat. Sekejab mobil itu terangkat. Sungguh luar biasa, mobil itu mengalami rusak berat. Namun tak cukup menembus ke dalam ruang penumpangnya.
“Lemparkan lagi granatnya!” perintah satunya melihat usahanya tak cukup berhasil. “Cepat lakukan!”
ya kembali menyalak. Orang itu langsung roboh terkapar. Darah tampak berbuih-buih dari lubang-lubang di dadanya.
Dengan terbukanya pintu mobil, kesempatan bagi pencegatnya untuk menyerang langsung sasarannya yang masih di dalam mobil.
Namun perhitungan penyerang itu keliru. Begitu pintu mobil itu terkuak, serangan balik terjadi. Beberapa butir peluru berhasil melukai salah satu pencegat itu. Ia roboh dengan bermandikan darahnya sendiri.
Kawannya tak mempedulikan nyawanya terancam. Ia berhambur ke arah pintu mobil yang kini terkuak lebar. Di tangannya tergenggam sebuah granat.
Pada saat itulah, secara naluriah Morgin bergerak cepat. Tangannya menyambar genggaman tangan pencegat itu, sehingga granat itu tak sempat di lemparkan tetap dalam keadaan terkunci.
Sekejab terjadi pergulatan hebat. Namun Morgin tak mempedulikan hantaman-hantaman pencegat itu, dia tetap membetot tangan pencegat itu agar tak sempat melemparkan granat.
“ Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment