Part - 29
Tiba-tiba sebuah letusan mengakhiri pergulatan. Kiranya salah seorang anak buah Zalbak telah menembak pencegat itu. Pelan-pelan Morgin melihat orang malang itu berkelanjutan.
Dan kemudian ia melihat orang itu luruh bagaikan kain basah. Tubuhnya terjengkal ke aspal jalan dalam keadaan mampus.
Namun anehnya, genggaman orang itu masih kuat mencengkeram granat yang hendak di lemparkan. Dengan susah payah, akhirnya Morgin dapat membuka genggaman orang itu. Dengan hati-hati Morgin mengambil granat itu dan menguncinya kembali. Morgin menghela napas lega. Namun tak ayal, detik-detik itu terjadi amat menegangkan jiwanya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Ia tertunduk lemas di trotoar.
Zalbak memperhatikan Morgin sekaligus. Kemudian ia menghampiri Morgin yang duduk di trotoar. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia melemparkan sebuah kartu nama kearah Morgin.
Morgin baru memungut kartu nama itu setelah melihat Zalbak pergi meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa. Sopir dan pengawalnya juga mengekor di belakangnya. Bangkai limousine itu di tinggalkan begitu saja!
Tak seberapa lama, tempat kejadian itu telah berkerumun orang-orang.
Morgin menjadi gelisah. Ada sesuatu yang menjadi beban perasaannya. Ia turut terlibat dalam kejadian itu. Dalam kebingungannya itu, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sesosok manusia yang telah tak asing lagi, Tortotor!
Laki-laki itu menyeruak kerumunan. Morgin mengekor di belakangnya. Tortotor menghampiri salah seorang pencegat Zalbak yang ternyata masih hidup. Dalam kejadian yang mengbingungkan itu. Morgin berharap Tortotor memberi jalan keluar dari keterlibatannya itu.
Tortotor memegang leher orang yang bersimbah darah itu. Dengan cara yang amat samar, tangannya memuntir kepala orang nahas itu.
“Lebih baik pihak berwajib menemukan matimu daripada hidupmu, sobat,” bisiknya. Perbuatannya itu tak di ketahui orang-orang.
Morgin terkejut melihat tindakan Tortotor. Ketika ia hendak memprotes tindakan gila itu, Tortotor menoleh ke arahnya.
“Menyingkirlah dari tempat ini. Cepat!”
“Tetapi, kau ………,” Morgin tergagap.
“Selagi ada kesempatan, pergilah,. Jangan melibatkan diri dalam kejadian ini. Atau kau lebih suka di surukkan ke bui!”
Morgin tersentak. Bagaikan tersentak dari mimpi yang mengerikan, diam-diam ia menyeruak kerumunan. Pergi!
Tak seberapa lama, mobil-mobil polisi meluber ke tempat itu. Langsung memblokir tempat kejadian. Tetapi pihak-pihak yang terlibat langsung dengan kejadian itu telah raib.
Dengan setengah berlari, Morgin terus menjauhi tempat kejadian itu. Sungguh merupakan peristiwa pertama yang mengerikan selama hdiupnya. Aku tak mau terlibat, aku tak mau, Morgin terus berlari sambil menggumamkan kata-kata itu. Seakan-akan ia hendak menyakinkan diri untuk melepaskan diri dari peristiwa mengerikan yang sekaligus membingungkan itu.
Dalam kebingungan itu, bayangan Tortotor seakan-akan terus memburu-burunya. Lelaki itu seakan-akan terus menempel di punggungku, keluhnya. Ia teringat apa yang di lakukan Tortotor kepada salah seorang pencegat itu. Mengapa Tortotor membunuhnya dengan darah dingin? Apakah Tortotor termasuk salah seorang di antara mereka, yang tidak menginginkan rahasia kelompoknya terbongkar ketika usaha pembantaian gagal ……? Apakah ia seorang pejuang perubahan? Atau mungkin hanya seorang yang frustasi?
Ketika Morgin teringat cerita sopir taksi yang mengatakan anaknya di bunuhnya, maka segera saja muncul dugaan-dugaan yang mengerikan. Tak mustahil juga kalau dia itu makhluk terkutuk alias setan? Morgin bergidik. Sialan, mengapa aku sedemikian tertarik kepada orang seperti itu, bisiknya dalam hati.
Malam harinya, Morgin menyelinap keluar perkampungannya secara diam-diam. Di salah satu took elektronik di jantung kota, ia berhenti. Melihat berita malam di pesawat TV toko itu.
Apa yang di harapkan muncul dalam berita itu. Namun apa yang terjadi dengan apa yang di cover oleh berita malam itu sungguh sangat berbeda sekali. Morgin tahu, bahwa peristiwa itu mempunyai rentetan erat sekali dengan peristiwa-peristiwa politik dalam negeri. Namun berita yang manyampaikan hanya sebagai peristiwa kriminal belaka.Bagaimana pun bodohnya, Morgin tahu bahwa Zalbak yang belakangan di ketahui mempunyai konspirasi dengan tokoh-tokoh politik tingkat tinggi, merupakan target pembunuhan dari kelompok-kelompok oposisi yang menentang kebijaksanaan politik pemerintah.
Ada betulnya juga ucapan Tortotor, batin Morgin mengakui dengan jujur. Ternyata Zalbak termasuk “orang sakit” yang bisa menulap apa saja. Bisa memdagangkan makhluk mati sampai makhluk hidup. Bisa membeli paket segala aturan. Maka bisa di maklumi, dengan tangan-tangan kekuasaannya, Zalbak juga bisa menyulap berita sedemikian rupa.
Dengan sisa-sisa uang yang terdapat di saku jaketnya, Morgin menyambar sebuah koran sore. Kembali peristiwa yang sama menjadi menu berita utama koran itu. Dalam berita itu tak sedikit pun di singgung adanya ulasan kaitan politis dalam peristiwa itu. Semua media seakan secara serempak mendapat komando dari satu tangan. Bahkan dalam media-media cetak itu, secara atraktif banyak terpampang pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh penting. Kesannya naif sekali. Karena untuk sekian kalinya opini masyarakat di arahkan ke satu kenyataan semu. Zalbak di katakan sebagai korban perbuatan kriminal tidak bertanggung jawab.
Nama dan peranan Tortotor dan dirinya sama sekali tak disebut-sebut. Walaupun merasa muak dan mual dengan kenyataan itu, Morgin sedikit menjadi lebih lega. Namun tak urung ia mengutuk kenyataan seperti itu. Sudah sedemikian parahnya keadaan masyarakatku, pikirnya. Dalam kemajuan yang luar biasa di tengah kehidupan masyarakat, perbuatan yang paling busuk bisa terjadi kapan dan di mana saja. Inflasi. Ya, inflasi yang menggerogoti - terutama - moral masyarakat. Dalam kondisi semacam itu, maka musuh yang paling menakutkan bukan lagi berwujud oknum, orde, maupun, golongan ataupun kelompok. Naumun musuh itu justru datang dari dalam jiwa manusianya sendiri yang mengalami inflasi. Maka tak heran, keangkamurkaan terjadi dengan leluasa. Ya, tanpa hambatan yang berarti.
Morgin tersebut pahit. Realitas yang muncul ke permukaan dalam kehidupan sehari-hari bagaikan pantat seorang nenek yang di singkap lebar-lebar. Bagaimana pun kamuflase politik di tampilkan, tetap saja orang-orang membacanya sambil tersenyum. Karena biar pun di poles dengan cara apa saja, pantat seorang nenek akan tampak juga sebagai pantat keriput dan penuh satir.
Kenyataan yang terkontruksi di otaknya itu, membuat Morgin berpikir. Dalam keadaan bingung dan tertekan itu, seakan-akan saraf di pusat integrasi otaknya yang di sebut Gyrus Angkulais bekerja ekstra keras sehingga ia mampu berpikir di luar kemampuan biasanya.
Ya, pikirnya, dalam kenyataan hidup semacam itu, aku harus pintar-pintar memilih-milih pihak dan kesempatan. Akhirnya, ia tersenyum sendiri. Karena kemudian ia membayangkan dirinya menjadi seekor anjing.
Peduli setan, belanya dalam hati. Pelan-pelan tangannya merogoh sebuah kartu nama dari dalam jaketnya. Ya, aku harus menjadi anjing setia Zalbak. aku tak peduli siapapun dia orangnya. Karena sejauh kesimpulan yang dapat kupetik, setiap oknum, orde, golongan, atau kelompok apa saja, sama-sama mempunyai peluang mengorbankan bencana bagi yang lemah. Oleh karena itu, aku harus memilih majikan yang kuat dan berkuasa. Itulah Zalbak!
Tiba-tiba Morgin teringat kata-kata Tortotor. Akh, kiranya ramalan lelaki aneh itu ada benarnya. Kalau aku akan mempunyai majikan.
Diam-diam Morgin berhasrat untuk menemui Tortotor.
Malam itu juga, Morgin mencarinya di bar biasanya. Namun Tortotor tak muncul.
Setelah malam agak larut, Morgin keluar dari bar itu. Namun belum juga sempat meninggalkan areal parkir bar itu, sebuah mobil pikap hitam tiba-tiba memotong langkahnya.
Sebuah isyarat tangan muncul dari jendela pikap hitam itu. Menyuruhnya masuk ke mobilnya. Morgin ragu-ragu peristiwa yang mengerikan itu masih menghantui hatinya.
“Mari ikut aku!” sebuah wajah muncul dari jendela mobil.
“Tortotor……!” desir Morgin tak sadar.
Tanpa berpikir lebih lama lagi, ia bergegas masuk ke pikap hitam itu.
“Mau kemana kita?” tanya Morgin bingung.
Tortotor tak menyahut. Mobil itu segera meluncur ke jalanan. Kencang sekali. Melesat bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya. Morgin menjadi cemas. Ia heran, tiba-tiba ia menjadi takut mati. Cara Tortotor mengemudikan mobil sungguh mengerutkan nyali. Tak urung keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Ia melirik kearah Tortotor. Namun orang itu tak menampak kesan berarti. Hambar.
“Tak bisakah Bung mengemudikan dengan lebih pelan?”
“Tidak!”
“Mengapa?” Morgin mengusap keringat di keningnya.
“Ibarat hidup, mobil ini tak bisa di jalankan pelan-pelan. Kalau tekanan gasnya kuturunkan, mesinnya ngadat dan mati.”
Morgin menelan ludah.
“Ada lagi yang penting kau ketahui……..”
“Apa itu?” tanya Morgin cemas.
“Kecuali mesinnya rewel, mobil ini juga remnya blong!”
“Hah!” Morgin bagai tercekik. Ia tak sempat lagi telan-telanan ludahnya sendiri. “Kalau begitu……..???”
“Ya, benar dugaanmu, kita muncul di keramaian lalu lintas tanpa rem.” Jawab Tortotor kalem.
Pikap hitam itu terus melaju kencang. Morgin mencari-cari sabuk pengaman. Namun tangannya hanya menemukan potongan sabuk yang putus. Sialan, setan kudisan, umpatnya. Tangannya segera berpegangan sekenanya. Mati awak, Mak!
Morgin melihat kendaraan masih cukup ramai malam itu. Lengah sedikit saja, tak urung pasti kejadian fatal akan di alaminya.
“Pelanlah, apa Anda tidak bisa?” teriak Morgin di tengah-tengah deru mesin yang di pacu sangat kencang. “Bisa celaka kita kalau cara mengemudi mobil seperti ini!”
“Sudah kukatakan, mobil ini ibarat hidup. Bila pelan, mesinnya ngadat dan bisa juga mati di tengah jalan. Sekarang pilih, jalan kencang terus dengan keadaan selamat di tujuan atau pilih pelan dan mesin mati. Tak mustahil mobil kita di seruduk mobil lain.”
Morgin bungkam. Namun matanya terus-menerus memperhatikan jalan di depannya. Ketika mobil itu sudah berbelok memasuki areal sebuah hotel, ia bisa menarik napas lega.
Dalam waktu yang relatif singkat. Tortotor membawa Morgin ke sebuah hotel termewah dan paling tinggi saat itu.
Dan kemudian ia melihat orang itu luruh bagaikan kain basah. Tubuhnya terjengkal ke aspal jalan dalam keadaan mampus.
Namun anehnya, genggaman orang itu masih kuat mencengkeram granat yang hendak di lemparkan. Dengan susah payah, akhirnya Morgin dapat membuka genggaman orang itu. Dengan hati-hati Morgin mengambil granat itu dan menguncinya kembali. Morgin menghela napas lega. Namun tak ayal, detik-detik itu terjadi amat menegangkan jiwanya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Ia tertunduk lemas di trotoar.
Zalbak memperhatikan Morgin sekaligus. Kemudian ia menghampiri Morgin yang duduk di trotoar. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia melemparkan sebuah kartu nama kearah Morgin.
Morgin baru memungut kartu nama itu setelah melihat Zalbak pergi meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa. Sopir dan pengawalnya juga mengekor di belakangnya. Bangkai limousine itu di tinggalkan begitu saja!
Tak seberapa lama, tempat kejadian itu telah berkerumun orang-orang.
Morgin menjadi gelisah. Ada sesuatu yang menjadi beban perasaannya. Ia turut terlibat dalam kejadian itu. Dalam kebingungannya itu, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sesosok manusia yang telah tak asing lagi, Tortotor!
Laki-laki itu menyeruak kerumunan. Morgin mengekor di belakangnya. Tortotor menghampiri salah seorang pencegat Zalbak yang ternyata masih hidup. Dalam kejadian yang mengbingungkan itu. Morgin berharap Tortotor memberi jalan keluar dari keterlibatannya itu.
Tortotor memegang leher orang yang bersimbah darah itu. Dengan cara yang amat samar, tangannya memuntir kepala orang nahas itu.
“Lebih baik pihak berwajib menemukan matimu daripada hidupmu, sobat,” bisiknya. Perbuatannya itu tak di ketahui orang-orang.
Morgin terkejut melihat tindakan Tortotor. Ketika ia hendak memprotes tindakan gila itu, Tortotor menoleh ke arahnya.
“Menyingkirlah dari tempat ini. Cepat!”
“Tetapi, kau ………,” Morgin tergagap.
“Selagi ada kesempatan, pergilah,. Jangan melibatkan diri dalam kejadian ini. Atau kau lebih suka di surukkan ke bui!”
Morgin tersentak. Bagaikan tersentak dari mimpi yang mengerikan, diam-diam ia menyeruak kerumunan. Pergi!
Tak seberapa lama, mobil-mobil polisi meluber ke tempat itu. Langsung memblokir tempat kejadian. Tetapi pihak-pihak yang terlibat langsung dengan kejadian itu telah raib.
Dengan setengah berlari, Morgin terus menjauhi tempat kejadian itu. Sungguh merupakan peristiwa pertama yang mengerikan selama hdiupnya. Aku tak mau terlibat, aku tak mau, Morgin terus berlari sambil menggumamkan kata-kata itu. Seakan-akan ia hendak menyakinkan diri untuk melepaskan diri dari peristiwa mengerikan yang sekaligus membingungkan itu.
Ketika Morgin teringat cerita sopir taksi yang mengatakan anaknya di bunuhnya, maka segera saja muncul dugaan-dugaan yang mengerikan. Tak mustahil juga kalau dia itu makhluk terkutuk alias setan? Morgin bergidik. Sialan, mengapa aku sedemikian tertarik kepada orang seperti itu, bisiknya dalam hati.
Malam harinya, Morgin menyelinap keluar perkampungannya secara diam-diam. Di salah satu took elektronik di jantung kota, ia berhenti. Melihat berita malam di pesawat TV toko itu.
Apa yang di harapkan muncul dalam berita itu. Namun apa yang terjadi dengan apa yang di cover oleh berita malam itu sungguh sangat berbeda sekali. Morgin tahu, bahwa peristiwa itu mempunyai rentetan erat sekali dengan peristiwa-peristiwa politik dalam negeri. Namun berita yang manyampaikan hanya sebagai peristiwa kriminal belaka.Bagaimana pun bodohnya, Morgin tahu bahwa Zalbak yang belakangan di ketahui mempunyai konspirasi dengan tokoh-tokoh politik tingkat tinggi, merupakan target pembunuhan dari kelompok-kelompok oposisi yang menentang kebijaksanaan politik pemerintah.
Ada betulnya juga ucapan Tortotor, batin Morgin mengakui dengan jujur. Ternyata Zalbak termasuk “orang sakit” yang bisa menulap apa saja. Bisa memdagangkan makhluk mati sampai makhluk hidup. Bisa membeli paket segala aturan. Maka bisa di maklumi, dengan tangan-tangan kekuasaannya, Zalbak juga bisa menyulap berita sedemikian rupa.
Dengan sisa-sisa uang yang terdapat di saku jaketnya, Morgin menyambar sebuah koran sore. Kembali peristiwa yang sama menjadi menu berita utama koran itu. Dalam berita itu tak sedikit pun di singgung adanya ulasan kaitan politis dalam peristiwa itu. Semua media seakan secara serempak mendapat komando dari satu tangan. Bahkan dalam media-media cetak itu, secara atraktif banyak terpampang pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh penting. Kesannya naif sekali. Karena untuk sekian kalinya opini masyarakat di arahkan ke satu kenyataan semu. Zalbak di katakan sebagai korban perbuatan kriminal tidak bertanggung jawab.
Nama dan peranan Tortotor dan dirinya sama sekali tak disebut-sebut. Walaupun merasa muak dan mual dengan kenyataan itu, Morgin sedikit menjadi lebih lega. Namun tak urung ia mengutuk kenyataan seperti itu. Sudah sedemikian parahnya keadaan masyarakatku, pikirnya. Dalam kemajuan yang luar biasa di tengah kehidupan masyarakat, perbuatan yang paling busuk bisa terjadi kapan dan di mana saja. Inflasi. Ya, inflasi yang menggerogoti - terutama - moral masyarakat. Dalam kondisi semacam itu, maka musuh yang paling menakutkan bukan lagi berwujud oknum, orde, maupun, golongan ataupun kelompok. Naumun musuh itu justru datang dari dalam jiwa manusianya sendiri yang mengalami inflasi. Maka tak heran, keangkamurkaan terjadi dengan leluasa. Ya, tanpa hambatan yang berarti.
Morgin tersebut pahit. Realitas yang muncul ke permukaan dalam kehidupan sehari-hari bagaikan pantat seorang nenek yang di singkap lebar-lebar. Bagaimana pun kamuflase politik di tampilkan, tetap saja orang-orang membacanya sambil tersenyum. Karena biar pun di poles dengan cara apa saja, pantat seorang nenek akan tampak juga sebagai pantat keriput dan penuh satir.
Kenyataan yang terkontruksi di otaknya itu, membuat Morgin berpikir. Dalam keadaan bingung dan tertekan itu, seakan-akan saraf di pusat integrasi otaknya yang di sebut Gyrus Angkulais bekerja ekstra keras sehingga ia mampu berpikir di luar kemampuan biasanya.
Ya, pikirnya, dalam kenyataan hidup semacam itu, aku harus pintar-pintar memilih-milih pihak dan kesempatan. Akhirnya, ia tersenyum sendiri. Karena kemudian ia membayangkan dirinya menjadi seekor anjing.
Peduli setan, belanya dalam hati. Pelan-pelan tangannya merogoh sebuah kartu nama dari dalam jaketnya. Ya, aku harus menjadi anjing setia Zalbak. aku tak peduli siapapun dia orangnya. Karena sejauh kesimpulan yang dapat kupetik, setiap oknum, orde, golongan, atau kelompok apa saja, sama-sama mempunyai peluang mengorbankan bencana bagi yang lemah. Oleh karena itu, aku harus memilih majikan yang kuat dan berkuasa. Itulah Zalbak!
Tiba-tiba Morgin teringat kata-kata Tortotor. Akh, kiranya ramalan lelaki aneh itu ada benarnya. Kalau aku akan mempunyai majikan.
Diam-diam Morgin berhasrat untuk menemui Tortotor.
Malam itu juga, Morgin mencarinya di bar biasanya. Namun Tortotor tak muncul.
Setelah malam agak larut, Morgin keluar dari bar itu. Namun belum juga sempat meninggalkan areal parkir bar itu, sebuah mobil pikap hitam tiba-tiba memotong langkahnya.
Sebuah isyarat tangan muncul dari jendela pikap hitam itu. Menyuruhnya masuk ke mobilnya. Morgin ragu-ragu peristiwa yang mengerikan itu masih menghantui hatinya.
“Mari ikut aku!” sebuah wajah muncul dari jendela mobil.
“Tortotor……!” desir Morgin tak sadar.
Tanpa berpikir lebih lama lagi, ia bergegas masuk ke pikap hitam itu.
“Mau kemana kita?” tanya Morgin bingung.
“Tak bisakah Bung mengemudikan dengan lebih pelan?”
“Tidak!”
“Mengapa?” Morgin mengusap keringat di keningnya.
“Ibarat hidup, mobil ini tak bisa di jalankan pelan-pelan. Kalau tekanan gasnya kuturunkan, mesinnya ngadat dan mati.”
Morgin menelan ludah.
“Ada lagi yang penting kau ketahui……..”
“Apa itu?” tanya Morgin cemas.
“Kecuali mesinnya rewel, mobil ini juga remnya blong!”
“Hah!” Morgin bagai tercekik. Ia tak sempat lagi telan-telanan ludahnya sendiri. “Kalau begitu……..???”
“Ya, benar dugaanmu, kita muncul di keramaian lalu lintas tanpa rem.” Jawab Tortotor kalem.
Pikap hitam itu terus melaju kencang. Morgin mencari-cari sabuk pengaman. Namun tangannya hanya menemukan potongan sabuk yang putus. Sialan, setan kudisan, umpatnya. Tangannya segera berpegangan sekenanya. Mati awak, Mak!
Morgin melihat kendaraan masih cukup ramai malam itu. Lengah sedikit saja, tak urung pasti kejadian fatal akan di alaminya.
“Pelanlah, apa Anda tidak bisa?” teriak Morgin di tengah-tengah deru mesin yang di pacu sangat kencang. “Bisa celaka kita kalau cara mengemudi mobil seperti ini!”
“Sudah kukatakan, mobil ini ibarat hidup. Bila pelan, mesinnya ngadat dan bisa juga mati di tengah jalan. Sekarang pilih, jalan kencang terus dengan keadaan selamat di tujuan atau pilih pelan dan mesin mati. Tak mustahil mobil kita di seruduk mobil lain.”
Morgin bungkam. Namun matanya terus-menerus memperhatikan jalan di depannya. Ketika mobil itu sudah berbelok memasuki areal sebuah hotel, ia bisa menarik napas lega.
Dalam waktu yang relatif singkat. Tortotor membawa Morgin ke sebuah hotel termewah dan paling tinggi saat itu.
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment