Part - 30
Tiba-tiba Morgin merasa kepalanya di benturkan kekaca depan. Karena Tortotor menghentikan mobil secara serampangan.
Tortotor tak menghiraukan sumpah serapah Morgin. Ia keluar dari mobil pikap itu. Tanpa berkata-kata, Tortotornglayap pergi.
“Lo, lo, Bung ini mau kemana?”
“Apa aku harus menyuruhmu lagi untuk mengikuti?”
“Sialan!” Morgin mengumpat. Namun ia terpaksa mengekor di belakangnya. Seorang tukang parkir mengejarnya, memperingatkan mereka salah parkir.
“Peduli setan.. Ambil saja mobil setan itu!”
“Tapi, Bung………..,” tukang parkir itu terbengong-bengong.
Tortotor menuju ke ruang lift. Morgin ikut sambil menggerutu. Lift menuju tingkat yang paling akhir. Atap gedunghotel itu. Morgin bengong.
“Mengapa kita harus ke sini?”
Hotel
Mereka berdiri di puncak hotel itu. Dari tempat itu, mereka bisa leluasa memandang ke segala arah. Menatap denyut hidup kota di waktu malam. Tampak kerlap-kerlip lampu kota bertaburan. Bagaikan cahaya bintang-gemintang di kolam yang jernih.
“Mengapa Bung membawaku ke tempat seperti ini?” tanya Morgin penasaran. Berada di tempat ketinggian itu, tak urung kepalanya sedikit pening.
“Sebagai orang kubangan, kau belum pernah ke tempat seperti ini, bukan?”
Morgin gusar. Ia merasa di permainkan. Gerahamnya bergeletukan. Ia tak peduli lagi siapa yang sebenarnya dihadapi.
“Aku tak mau dipermainkan dan di hina!”
“Baik, lakukan saja apa yang kau suka!”
Dengan kemarahan yang memuncak, Morgin menerjang Tortotor. Kepalan tangannya melayang kearah wajah Tortotor. Namun hantaman tangannya tak mengena. Tangannya berhenti ketika hampir menyentuh wajah Tortotor. Seakan-akan ada sebuah dinding transparan yang melindungi.
Morgin tersentak. Ia menjadi ragu untuk meneruskan tindakan gegabahnya. Dengan penuh tanda tanya dan takjub, ia perhatikan laki-laki di depannya itu.
“Mengapa kau berhenti. Teruskanlah,” kata Tortotor.
“Oh, tidak, tidak, aku, aku ……….!” Morgin tergagap.
“Teruskanlah, Morgin!”
“Tidak. Sungguh tak lagi ……..!”
“Kalau kau tak meneruskan lagi, maka aku yang akan ganti menghajarmu.”
Morgin tak menyahut. Sungguh ia tak mengerti mengapa bertindak gegabah. Sialan, umpatnya pada dirinya sendiri. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya.
“Jangan! Bung jangan menghajarku. Maafkan perbuatanku tadi ……!” pinta Morgin. “Maafkan aku……..!”
Teriakan Morgin terbawa angin yang terasa cukup kencang tertiup di puncak gedung itu. Tortotor pun seperti tak peduli. Ia terus menghajar Morgin sampai jatuh-bangun. Akhirnya; Morgin tak kuat lagi untuk bangkit. Ia terkapar di lantai beton atap hotel itu.
Keremangan yang menyelimuti sekelilingnya, tampak semakin pekat saja di mata Morgin. Ketika menengadakan wajahnya ke langit, bintang-gemintang semakin banyak saja jumlahnya. Karena kepalanya pusing bukan kepalang. Semuanya tampak berpusing. Cahaya-cahaya lampu di kejauhan pun tampak bagaikan air jeram yang mengalir deras. Gedung-gedung dan segala benda-benda seakan-akan menari-nari.
“Bangun kau, Morgin!”
Morgin tak menyahut.
“Bangunlah kau!”
“Tidak!” desisnya.
“Bangunlah!”
“Aku tak kuat!”
“Cobalah bangun!”
“Aku tak mau kalau untuk di hajar lagi!”
Tortotor menghampiri. Ia menyeret tubuh Morgin. Menyandarkan ke pagar pembatas tepian atap. Morgin melongok ke bawah. Kepalanya pusing. Perutnya mual.
Morgin ingin beranjak dari tepian atap itu, namun, ketika hendak bergerak seluruh persendiannya terasa nyeri dan ngilu. Sialan, jadi rongsokan betul awak ini, Mak!
Beberapa saat lamanya, Morgin berdesis-desis menahan rasa sakit. Sedangkan Tortotor berdiri di sampingnya. Menatap sudut-sudut horizon. Sama sekali tak peduli keadaan Morgin.
“Apa maksud Bung berbuat demikian?” tanya Morgin dengan menekan kemurkaan.
“Aku hanya ingin menunjukkan bahwa di tempat ini majikanmu - Zalbak-sering berada.”
“Memang kenapa?”
“Bagaikan seorang maharaja yang sedang memandang dan mengagumi daerah kekuasaannya,” ucap Tortotor datar. “Namun, Zalbak bukan aktor yang sebenarnya. Ia hanya mata rantai sebuah permainan saja. Ia tak lebihnya seekor anjing penjaga dari sebuah kekuasaan.”
“Tetapi, ya, apa hubungannya denganku?”
“Dia adalah bakal mejikanmu, Morgin!” kata Tortotor.
“Kalau hanya ingin menyampaikan hal sepele ini, mengapa harus memakai cara gila-gilaan seperti tadi. Aku memang orang yang di lahirkan di kubangan. Namun tidak lantas untuk di buat permainan. Aku masih mempunyai keberanian untuk membela harga diriku, Bung!”
“Hahahaha ……..!” Tiba-tiba Tortotor tertawa. Keras sekali. Suara tawanya lenyap di telan angin lalu.
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment