Part - 32
The Scary Forrest
Mereka akan mengembangkan teknologi yang bisa mengurai, misalnya dari sari-sari buah-buahan, sehingga menjadi dan mempunyai keempat unsur tersebut. Atau dari sari-sari buah-buahan itu di proses secara kimiawi agar menjadi zat-zat anorganis seperti yang disebutkan Al Quran.”
Morgin terlongong-longong. Ia nyaris melupakan rasa sakitnya. Betapa dahsyatnya berita yang dikatakan oleh lelaki aneh ini. Ia menggigil tanpa disadari.
“Jadi kau, kau, ya, kau bukan dari jalur keturunan Adam ………?”
“Allah Maha Tahu”.
“Tidakkah kau bohong?”
“Allah Maha berkehendak.”
“Sungguh kau telah mengadakan kebohongan yang tak ada seorang pun sudi mempercayainya!”
Tortotor diam. Morgin tercengang. Angin pun semakin kencang bertiup. Malam pun semakin jauh menyuruk ke larut malam. Rembulan yang semenjak tadi bersembunyi, tak juga menampakkan diri. Bintang-gemintang tampak berkelap-kelip di kesenyapan langit.
Dengan menahan rasa sakitnya, Morgin berusaha bangkit berdiri. Tiba-tiba ia merasakan ketakutan yang luar biasa berada di tempat itu. Oh, tidak, Morgin merasa gentar berhadapan dengan lelaki itu.
“Kau sudah mengatakan akan mendengarkan kata-kataku, bukan?”
“Ya, ya pasti aku dengarkan……..!” sahutnya gagap.
Berkali-kali tangan Morgin mengusap bulir-bulir keringat dingin yang mulai menghiasi wajahnya. Ia betul-betul gelisah. Seandainya seribu kebohongan yang teramat dahsyat ia dengarkan dalam sekali tempo, barangkali ia masih sanggup untuk menghadapinya. Namun cerita Tortotor yang baru didengarkan sungguh melampaui kedahsyatan beribu-ribu kebohongan.
“Kau tampak gelisah, Morgin!”
“Akh, nggak, Nggak kok……….!” elak Morgin salah tingkah.
“Penglihatanku tak pernah bohong……..!”
Keringat dingin semakin meluber di sekujur tubuh Morgin.
“Kau gelisah, bukan?”
Didesak begitu, pelan-pelan Morgin mengangguk.
“Mengapa?”
Morgin tak segera menjawab matanya melayang kesudut-sudut horizontal nun jauh disana. Seakan-akan ia mencari sesuatu yang dapat melenyapkan kegundahannya.
“Mengapa kau tak menjawab?”
“Maafkan aku………….!” sahutnya lirih seperti sapi yang melenguh tak berdaya. “Aku tak dapat menguraikan jawabanku!”
“Tentu karena ada sebabnya, bukan?”
“Barangkali, ya!” jawab Morgin ragu.
“Apa itu?”
Morgin mendengus. Namun ia tak segera menjawab.
“Jawablah, Morgin!”
“Aku hanya merasakan getar-getar ketakutan”.
“Mengapa?”
“Berhadapan denganmu, mendengarkan segala penyampaianmu dan segala kemungkinan-kemungkinan yang timbul bila terus bersamamu, sepertinya aku menghadapi sesuatu yang tak biasa lagi,” ucapnya sambil mengusap bulir-bulir keringat dikeningnya.
“Dan aku sangat takut. Sungguh aku sangat takut, Bung!”
“Mengapa harus takut?”
Kembali Morgin mendengus. Matanya tajam memperhatikan orang yang kini bersamanya. Ia memang merasakan getar-getar ketakutan berhadapan dengannya. Namun, sesuatu yang tersembunyi dan penuh misteri di balik kehadiran orang itu lebih menakutkan Morgin.
“Boleh jadi Bung bukan orang biasa. Boleh jadi aku takut bila berhadapan dengan Bung. Namun, ada sesuatu yang lebih menakutkan hatiku.”
“Apa itu?”
“Aku takut menghadapi gelagat Bung sendiri. Seakan-akan Bung mengharapkan sesuatu yang baik akan mengucur dari orang semacam aku. Kalau itu betul, maka aku sangat takut sekali. Dan Bung salah alamat!”
Tortotor tak bereaksi.
“Boleh jadi Bung manusia luar biasa. Membawa hal-hal yang juga luar biasa. Namun, apabila yang hendak Bung katakan kepadaku adalah ajaran-ajaran moral, idealisme, atau paling tidak kata-kata nasehat, hikmah, kata-kata mutiara, agar aku menjadi pemerhati masalah-masalah suci dan luhur, jelas Bung salah.”
Tortotor tetap bungkam. Angin menderu-deru samar.
“Karena, ya, karena aku orang yang lapar,” lanjut Morgin. “Tuhanku materi. Aku orang yang tak terbiasa memperhatikan segala macam idealisme perjuangan yang bertujuan menjunjung moralitas, keadilan, atau kemakmuran. Persetan dengan semua itu!”
Kesunyian melanda keduanya. Hanya angin bertiup semakin menderu-deru.
“Itulah aku, Bung. Karena itu, berhadapan dengan Bung aku menjadi takut,” kembali Morgin melanjutkan. “Aku orang yang lapar. Maka, mustahil jiwaku menjadi sehat. Apalagi aku tahu, musuh yang sebenarnya harus dihadapi bukan lagi berupa oknum, orde, golongan, atau kelompok. Tetapi musuh itu justru ada dalam diri tiap orang nafsu. Dan setiap orang mempunyai peluang dan kemungkinan mengumbar nafsu keangkaramurkaannya. Dan aku lebih suka memilih dan menghamba pihak yang menang!”
Tortotor tengadah.
“Ya, aku akan menghamba kepada Zalbak. Aku akan berlutut di bawah kekuasaannya, Bung!”
“Ingatlah kata-kata ini, Morgin!” kata Tortotor. “Seandainya semua orang berlomba-lomba membawa orang yang paling jahat di antara umat manusia, niscaya para penguasa bendawi akan mengalahkan mereka semua. Penguasa bendawi mempunyai sarana-sarana produksi bendawi, sebagai akibatnya juga dapat mengendalikan dan mengontrol sarana produksi pemikiran. Dengan kata lain, para penguasa bendawi adalah tugas penguasa juga penguasa pemikiran dan jiwa masyarakat. Para penguasa bendawi berusaha mempertahankan kekuasaannya selaku penindas. Dan sifat penindasannya itu bisa terwujud dalam bentuk politeisme, kekafiran, kemunafikan, diskriminasi, dan perusakan!”
“Apa karena aku menghamba kepada Zalbak, maka kata-kata itu sengaja Bung lontarkan kepadaku?”
“Ya!”
“Tetapi aku tak peduli!”
“Tuhan Maha Kaya memiliki takdir. Dan itulah pilihanmu, Morgin!” ucap Tortotor tajam.”
“Dan, aku semakin yakin bahwa kejadian di masa yang akan datang tanganmu tanganmu!”
“Aku tak peduli. Aku tak mau mendebat sesuatu yang belum aku ketahui,” ucap Morgin tandas.
“Sekarang, izinkan aku pergi!”
“Silahkan!”
Dengan tanpa ragu sedikitpun, Morgin pergi. Dengan melalui lift ia turun ke lantai dasar.
Dihalaman hotel, ia tengadah.
The Dark side
Entah mengapa tiba-tiba langit berkejap. Sinarnya sedikit menerangi kekelaman malam. Morgin melihat sosok itu berubah bagaikan warna keperakan.
Dengan hati tertegun, Morgin berlalu dari areal halaman hotel itu.
*****
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment