Part - 33
Kamasutra
Kalau benar cerita Morgin itu, berarti kini aku sedang berhadapan dengan seorang tokoh yang sama sekali asing. Tortotor : Ya, sebuah nama dengan sebuah misteri.
Apakah Tortotor orang yang selama ini kucari? Aku bimbang. Manusia yang kucari adalah manusia yang tidak sekadar memiliki kekuatan atau kemampuan luar biasa. Namun manusia yang mampu memainkan peranan sebagai Tuhan. Sehingga ia bisa berlagak memainkan fungsi ilahiah dan rububiah. Manusia yang mampu menciptakan tirani, despotisme, kesewenang-wenangan, eksploitasi, dan ketidak adilan. Manusia yang mampu menjadi kanker di tengah-tengah kehidupan masyarakat, merusak jaringan kehidupan moral, intelektual, politik, dan ekonomi masyarakat serta menghancurkan nilai-nilai yang memisahkan harkat manusia dengan alam binatang.
Pikiranku terus berkelana. Menyibak kegelapan misteri.
Tortotor? Akh, boleh jadi ia bukan manusia biasa. Walaupun banyak kemisterian yang melingkupi dirinya, aku yakin bukan dia yang selama ini kucari. Andaikan kehadiran Tortotor di latarbelakangi perjuangan-perjuangan idealisme, ia tak lebihnya seorang pejuang kesenian. Ia tak punya massa. Maka ia tak memiliki kekuatan apa-apa. Ia tak akan mampu mengukir sejarahnya sendiri dalam kehidupan.
Ya, kini aku yakin seyakin-yakinnya, bahwa orang yang kucari adalah manusia dari lapisan atas. Manusia yang menggegam kekuasaan dan pengaruh dan manusia yang merasa tak ada kekuatan apapun yang dapat menentangnya. Sehingga tanpa sadar ia mengambil fungsi dan peranan ilahiah dan rububiah bagi masyarakat, karena semua kehendaknya harus berlaku.
Ketika seluruh perhatianku tercurah untuk mendengarkan kelanjutan cerita Tortotor, tiba-tiba Morgin bungkam. Seperti sebuah mesin yang kehabisan energi. Aku penasaran dan kesal.
“Mengapa kau bungkam, Gendut?” tanyaku geram.
Morgin tak menjawab. Malah, ia menengok ke pintu masuk. Aku tahu yang dipikirkan Tortotor.
“Apa dia sudah datang, Bos?”
“Belum. Barangkali ia tak akan datang untuk waktu yang cukup lama,” jawabku. Aku masih penasaran terhadap ceritanya. “Lanjutkanlah cerita orang itu!”
“Aku lelah. Mulutku letih dan pahit”.
Aku mengambil minuman dari bar di sudut ruangan.
“Bir!” aku sodorkan.
“Tidak. Aku ingin soft drink,” katanya lirih. Namun tangannya berbuat sebaliknya dari ucapannya. Botol bir itu di sambarnya dan ditenggaknya. Beberapa saat wajahnya tampak cerah. Matanya yang tadi suntuk, kembali berbinar.
Aku cemas.
“Jangan terlalu banyak kau meminumnya!”
“Suka-suka aja, Bos!”
Kecemasanku terbukti. Mulut Morgin mulai meracau. Minuman itu telah menggerogoti kesadarannya sedikit demi sedikit. Bicaranya sulit terkontrol lagi. Karena sudah ada yang tak beres dengan saraf kesadarannya. Sialan, sialan kunyuk ini. Hanya dengan sedikit minuman saja, otaknya sudah tak beres.
“Kau mabuk hanya dengan sedikit tegukan itu?” tanyaku kesal.
“Sudah mabuk mulai kemarin, Bos!” jawabnya sambil menyeringai. “Dan tadi pagi, tiga botol mengucur ke perutku di pos jaga!”
Sialan. Mengapa aku sampai tak tahu kalau Morgin sebenarnya sudah teler. Sekarang aku semakin curiga, jangan-jangan cerita yang disampaikan merupakan bualan ketidakberesan otaknya. Jurig Sialan!
Aku menekan kemurkaan. Bagaimana pun aku masih ingin mendengarkan kelanjutan ceritanya. Aku betul-betul penasaran terhadap keberadaan orang misterius itu.
“Morgin, teruskan ceritamu itu!”
“Cerita yang mana lagi, Bos?”
“Cerita yang tadi itu, Kunyuk!” aku hampir berteriak muak.
“Oh, gampang itu, Bos. Itu kan cerita tentang perang dunia ketiga………!”
“Bangsat terkutuk! Bukan cerita perang!” aku sambar lehernya. Kucekik sampai ia menjulurkan lidahnya. Morgin kehabisan napas. Sedikit demi sedikit kukendurkan cekikanku.
“Kucekik sampai mampus kalau kau macam-macam!”
“Hehehe…………..!” Morgin tak peduli ancamanku.
“Mau mampus kau, Morgin?” aku kesal dan dongok sekali.
“Mau dong, Bos! Hehehe………….!
Untuk beberapa saat, aku mondar-mandir dalam kamar. Sekarang aku menjadi bingung. Apakah tidak mungkin latar belakang tentang diri Tortotor tadi tak lain hasil rekontruksi si otak dogol ini? Tak mustahil. Bagaimana orang yang selama ini dipenuhi kesintingan seperti Morgin dapat dipercaya. Apalagi dalam keadaan teler sekarang.
Aku mengambil jambangan bunga. Dengan kemarahan tertahan, aku tumpahkan air jambangan ke wajah tangan kanan Morgin keparat itu. Namun Morgin tetap tak sadar. Aku tak dapat menahan kemarahan lagi. Dengan airnya tak mampu membuatnya sadar, barangkali dengan jambangan bisa menyembuhkan kemabukannya. Dengan tanpa pikir lagi, kuhantamkan jambangan itu ke kepalanya. Jambangan itu pecah berantakan.
“Aduh!”
Morgin tersentak kesakitan. Setelah itu, ia pingsan untuk ke dua kalinya. Tentu saja, aku mengutuk dan menyumpah-nyumpah.
Di tengah-tengah kekesalan itu, kembali aku merenungkan cerita Morgin. Bagaimana pun dalam ceritanya itu, banyak terdapat hal-hal menarik untuk di simak. Terlepas distorsi yang di lakukan kemabukan Morgin.
Tortotor. Ya, dia itu, tak mustahil adalah salah satu manusia sempurna. Insane alkamil. Bisa jadi ia manusia suci yang disebut qutb di mana setiap zaman, tak pernah kosong dari kehadirannya. Manusia yang memiliki segala kualitas manusia. Ruh universal yang menjaga zaman demi zaman.
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment