'' BUKU HARIAN IBLIS '' (Part 35)


Part - 35


“Morgin,  keluarlah kau lewat pintu belakang.”

“Tetapi, Bos ……..”

“Cepatlah keluar, Dungu!”

Morgin pergi bersungut-sungut. Sejurus kemudian, aku berlari keruang depan.

Aku menunggu. Siapakah gerangan orang itu ……………..?

Pegangan pintu nampak bergerak-gerak halus. Seseorang berusaha membukanya ragu-ragu.


Aku menunggu dengan dada berdebar-debar. Tortotorkah yang datang, mengapa ia ragu untuk langsung masuk ?

Detik-detik berlalu sangat lambat.

Ketegangan berlanjut tanpa penyelesaian. Sialan, umpatku dalam hati. Semakin kudekati pintu, arus getaran listrik statis itu semakin kuat. Seakan-akan menimbulkan gelombang yang sanggup mengacaukan degup jantung. Karena getarannya menghentak-hentak pada jalan darah.

“Baiklah, aku akan pergi. Namun aku akan mengatakan bahwa aku memiliki  lima kiat untuk mencelakakanmu. Aku akan menyampaikan tiga dan menyembunyikan dua di antaranya.

Ruangan depan itu sama sekali terpisah dengan beranda. Selain terdiri atas tembok beton, juga pintu sama sekali tak mempunyai kaca jendela. Namun, rumah mewah itu diperlengkapi dengan seperangkat kamera di tiap-tiap sudut yang strategis yang dihubungkan dengan beberapa pesawat audio di ruang tamu. Maka, segala yang ada di luar rumah pasti dapat di pantau melalui TV monitor.

Aku melirik kesudut pesawat audio itu. Namun sungguh menyebalkan. Pada saat itu, semua TV monitor itu tengah sekarat. Tak satupun mengeluarkan gambar. Di layar gelasnya hanya tampak semburat warna-warni seperti beberapa kaleng cat di tumpahkan sembarangan. Kampret! Aku sama sekali tak bisa mengetahui cecunguk di luar rumah itu.

Dengan satu kehendak keras, kubuka pintu.

“Gludak, geluduk, gluddak!”


Hampir bersamaan dengan terkuaknya daun pintu, beberapa benda bundar di lemparkan ke hadapanku. Tentu saja aku terkejut bukan kepalang.

Di depan pintu, berdiri orang yang sedang kutunggu kedatangannya. Orang itu tidak lain adalah Tortotor.

Ingin rasanya aku langsung menerjangnya. Namun perhitungan yang lebih matang membuatku menekan kemurkaan yang hampir naik ke ubun-ubun. Dan getaran-getaran listrik statis itu masih terasa. Dan ketika melongok ke ruang depan, tampak pesawat-pesawat audio itu belum normal seperti biasanya. Aku menduga, ngadatnya TV monitor itu tak lain dan tak bukan akibat kehadiran cecunguk gondrong ini.
Sejururs kemudian, tercium bau busuk. Aku terkejut. Apa yang telah di bawa Tortotor tadi?

“Inilah permintaan Anda. Kupenuhi!”


Aku mendelik. Tortotor memang membawa dua kepala. Yang satu masih tampak utuh, sedangkan satunya lagi sudah rusak dan membusuk. Namun kedua-duanya sedang berlomba-lomba menebarkan bau busuk sehebat-hebatnya.

“Apa yang kau lakukan?” suaraku terasa bergetar. Sialan, aku mendongkol sekali. Apa yang kau bawa ini, hah?”

“Bukankah Anda memintaku untuk membawa dua kepala !”

Dadaku terasa sesak. Secara cerdik orang ini telah melakukan perintahku. Namun maksud yang tak sempat kukatakan, aku menghendaki dua kepala manusia yang masih hidup. Ternyata ia justru membawa dua kepala manusia yang sudah mampus.

“Yang satu ku gali di kuburan. Sedangkan satunya kuambil dari kamar mayat rumah sakit.”

Aku mengertabkan geraham.

“Baiklah, aku terima hasil kerjamu ini.”

“Seharusnya memang begitu!”

Aku perhatikan dua kepala manusia itu. Sungguh menjijikan. Salah satu di antaranya, tampak rongga matanya sudah kosong. Dan penuh ulat. Ketika di lemparkan, rupanya bagian tempurungnya pecah. Dari pecahan itu, pelan-pelan mengeriyap ulat-ulat yang mencoba keluar. Rambutnya sudah nyaris rontok, hanya tinggal di bagian pelipisnya saja. Sedangkan kepala yang satu, barangkali milik seorang kaya atau pejabat yang penuh lumuran maksiat dan dosa. Semuanya masih lengkap. Hanya matanya tetap mendelik dan mulutnya menganga.

“Bersungguh-sungguhkah kau ingin bekerja kepadaku ?” kutatap bola matanya. “Betul ?”

“Ya. Tetapi perlu ku sampaikan kepada Anda. Aku tak pernah lama bekerja pada tiap orang. Oleh karena itu, pikirkanlah dulu pekerjaan yang hendak Anda berikan kepadaku.”

“Akan kuperhatikan.”

Aku mondar-mandir di ruang tamu. Aku tak ingin gegabah memberi perintah. Karena aku sadar dengan siapa kini aku berhadapan. Ya, dengan kehadirannya di lingkunganku, seakan-akan aku telah memasukkan seorang musuh di bawah selimut. Dadaku penuh pelbagai pertanyaan, mengapa ingin bekerja di bawah kekuasaanku. Mustahil ia tak menyadari siapa sebenarnya diriku. Siasat apa yang ia rencanakan kepadaku?

”Untuk saat ini, aku tak memberimu perintah.”

Tortotor diam. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa-apa.

“Tunggulah, sewaktu-waktu akan kusampaikan lewat Morgin. Dan tinggalkan alamat, sehingga sewaktu-waktu Morgin bisa menghubungimu.”

Tak lama kemudian, Tortotor pergi.

Setelah kepergiannya, barulah aku dapat  menghela napas lega. Dadaku terasa lepas dari himpitan beban yang teramat berat.

Dari sudut TV monitor, terdengar bunyi gemerisik. Kiranya pesawat-pesawat audio itu kembali normal seperti biasanya. Layar gelasnya menampakkan lagi sudut-sudut yang masuk ke kemara.

Dengan agak kesal, kupanggil penjaga pos pintu gerbang. Kusuruh penjaga itu untuk menyingkirkan dua kepala terkutuk itu.

Penjaga itu tampak kebingungan. Wajahnya menampakkan kejijikkan dan kebingungan.

“Singkirkan!”

“Baik, Bos!” sahutnya putus asa.

Namun belum lama ia mencoba menyingkirkan benda asing itu, penjaga itu langsung muntah-muntah. Wajahnya pucat-pasi. Dengan tubuh lemas, orang itu memanggil temannya. Menyuruh menggantikan. Sayangnya, penjaga yang baru datang itu juga bernasib sama. Ia muntah-muntah dan wajahnya menjadi pucat.

“Cepat lakukan!”

“Kami tak sanggup, Boss!”

“Apa?”

“Kami menyerah, Bos!”



” Karya Herly Sauri “

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment