" BUKU HARIAN IBLIS " (Part 36)

Part -36


Pada akhirnya kedua penjaga pos itu mau melaksanakan tugas yang aku berikan. Dengan ancaman akan ku pecat jika tidak mau melaksanakan perintahku, terserah mau di apakan kedua kepala manusia yang sudah terpotong itu, dibuang atau di kubur atau  bisa juga untuk bekal makan kedua penjaga pos tolol itu.



*****



Tak berapa lama datanglah seseorang membawa berkas dan berkas itu langsung di sodorkannya kepadaku. Nama orang itu adalah Fedrik,  dia adalah orang yang mengurusi semua urusan dalam rumah tangga hidup Zalbak.

Segera saja kusambar dan kuletakkan di laci. Sekilas kulihat ekspresi kecewa di wajah Fedrik. Barangkali tindakanku tidak seperti yang di harapkan. Namun kekecewaannya itu disembunyikan lewat senyuman manisnya. Dasar buaya, walau kecewa orang ini masih sanggup menampakkan wajah manisnya!


“Apakah Bos tak perlu membacanya sebentar?” ucapnya dengan nada lirih. Bukan nada memerintah namun lebih tepatnya ia mengemis agar aku membaca jerih payahnya. “Agar aku dapat menjelaskan bagian-bagian yang memerlukan detailnya.”

Namun sayangnya, aku terlanjur muak terhadap manusia semacam ini. Walaupun secara pasti orang ini akan menjadi pengikut, baik secara sukarela maupun terpaksa, aku tetap muak. Karena orang-orang sepertinya tidak akan pernah mengenal batasan apa pun. Mereka baru akan menjadi anjing setia bagi yang sanggup memenuhi keinginannya. Mereka tak segan melabrak Tuhan sekalipun, terhadap makhluk seperti aku apalagi. Mereka bisa lebih jahat daripada makhluk terkutuk seperti aku.

Ya, manusia jenis Fedrik merupakan species yang gampang dikemudikan hawa nafsunya. Dengan secuil ilmunya, mereka sudah merasa mempunyai otoritas untuk menafsirkan sesuatu kebenaran menurut kehendaknya sendiri. Kumpulkan dua manusia jenis ini, maka mereka akan menghasilkan pendapat tentang suatu masalah melebihi jumlah kepala mereka. Itulah ahli hukum, sejenis ulama Fiqh. Sesungguhnya merekalah yang membuat kebenaran hakiki diliputi tabir kegelapan karena pendapat-pendapat mereka.

Melihat aku hanya diam saja. Fedrik mulai gelisa. Keningnya berkeringat. Jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa sadar.

“Jadi Bos merasa tak perlu mendengarkan penjelasanku ?”

“Begitulah!”

“Jadi Bos akan mempelajari sendiri?” desaknya.

“Ya, begitulah!”

Fedrik diam-diam menyadari keadaannya. Tanpa diminta, dia berdiri.

“Kuharapkan Bos tak segan-segan memanggil bilamana ada hal-hal yang memerlukan penjelasan lebih jauh!”

“Mudah-mudahan tak ada!”

Fedrik pamit dan pergi. Kecewa. Tak biasanya Zalbak memperlihatkan sikap kaku seperti itu, sehingga ia tak sempat mengambil muka dengan memberikan penjelasan panjang lebar dari hasil kerjanya itu. Aneh!

Sepeninggal Fedrik, aku tercenung.

Betapa banyak sesungguhnya pelajaran yang dapat diambil dari tingkah laku manusia ini. Mereka merupakan makhluk yang paling unik. Betapapun sejarah telah dipenuhi oleh lembar demi lembar tentang jatuh bangunnya sejarah kehidupannya, manusia tak pernah belajar dari pengalaman hidupnya sendiri. Mereka tak pernah mengenal puas dalam memenuhi hasrat kemanusiaannya. Dalam petualangannya itu, tak jarang mereka rela menghamba kepada siapa pun. Seharusnya kehidupannya penuh rahmat Sang Pencipta, kehidupan abadi, dan mengantarkan ke maqam yang tertinggi, mereka gantikan dengan kesyirikan dan kegelapan.

Aku tertunduk. Hidungku mendengus, menghembus asap hitam pekat. Mataku nanar, merah membara.
Seandainya manusia itu tahu, bahwa perbuatan selingkuhnya itu akan mengantarkan kepada penyesalan yang paling dalam, siksaan yang paling pedih, serta mengubah mereka menjadi sijjiniy ( penghuni neraka yang paling dasar), adakah mereka masih akan menghamba kepadaku?

Saqar

Pada waktu itu juga, aku teringat kepada makhluk Allah. Saqar. Sesungguhnya di neraka ada sebuah lembah bagi manusia-manusia takabur. Yang bernama Saqar. Saqar telah mengeluh kepada Allah tentang panasnya yang teramat panas. Ia memohon kepada Allah berkenan meringankan penderitaannya untuk beberapa lamanya agar ia dapat bernapas. Begitu ia bernapas, napasnya mengisi seluruh neraka dengan api.

Diam-diam aku ngeri juga. Meskipun saqar merupakan tempat penyiksaan, ia mengeluh tentang panasnya sendiri. Dan panas api neraka yang sekarang, hanya karena napasnya saja.

Seandainya manusia itu tahu, betapa mahadahsyatnya siksaan neraka itu; barangkali untuk menyebut namaku saja, mereka sudah terbirit-birit. Api di dunia tak seberapa panas dan merupakan gejala kecil  belaka dan sudah bercampur dengan segala macam noda. Sedang api neraka masih murni, bebas noda, substansinya mandiri dan abadi. Merupakan substansi yang hidup dan membakar para penghuninya berdasarkan karsa dan kesadarannya dan menggunakan segenap dayanya untuk menekan mereka. Perbandingannya, seandainya semua api di dunia ini menelan manusia, yang dijilatnya hanya sisi luarnya belaka. Tetapi api neraka akan menjilati manusia baik dari luar maupun dari dalamnya, dan menyelimuti indra dan daya persepsinya.

Di dunia ini, tak ada tolak bandingannya untuk menggambarkan kedahsyatan neraka. Hal tersebut ditentukan beberapa faktor. Pertama, perbedaan persepsi antara alam dunia dan alam akhirat, menyebabkan perbedaan kekuatan dan kelemahan persepsi juga. Kedua, perbedaan material dan ketiga, jarak relatif dengan sumber panasnya. Di dunia ini, tubuh manusia tak sanggup menahan panas. Api dunia sudah cukup melumatkan tubuh manusia menjadi abu.

Sedangkan di akhirat, Allah telah mengubah esensi tubuh manusia sedemikian rupa, sehingga tidak dapat dilumatkan oleh panasnya api neraka. Di mana menurut kesaksian Jibril sendiri. apabila rantai neraka di campakkan ke dunia, maka leburlah gunung-gemunung di dataran bumi ini.

Oh, betapa malangnya manusia itu. Oh, tidak. Namun akulah yang seharusnya menyesali semua kesialan peruntungan nasibku ini. Pembangkangan akan mencampakkan aku kelembah kehinaan dan kepedihan abadi. Tanpa sadar aku jambak rambut. Betapa dungunya aku, telah takabur menapak kehidupan penuh kehormatan di hadirat Allah.

Tiba-tiba aku mual dan muntah.

Malam itu juga, aku keluar. Tanpa sepengetahuan orang-orang rumah-termasuk  si Dogol Morgin- aku menyelinap. Di jalanan aku segera memanggil taksi. Menuju ke tempat kediaman Domokus. Berkas-berkas yang berasal dari Fedrik, kukepit di ketiak.

Entah karena kehadiranku atau memang taksi itu memang brengsek, tampak argo meternya berputar gila-gilaan. Beberapa kali sopir itu mencoba membetulkan dengan memukul-mukul permukaan argo sialan itu. Namun tetap saja meterannya berputar cepat, bahkan kadang-kadang berputar balik. Wajah sopir taksi itu mulai berkeringat. Gelisah.

“Kenapa, Pir?”

“Anu, ini, ini, argo meternya berputar gila-gilaan, Pak!”

“Lantas sekarang apa maumu, Pir?” aku ingin menggodanya.

“Begini saja, Pak,” selanya sambil mengusap keringat di keningnya, “Bapak tak usah risau tentang argo meternya. Bapak bayar saja menurut kelayakan jauh-dekat jarak tujuan Bapak sendiri”.

“Wah, kalau tahu begini, aku bisa tertipu!” aku berpura-pura mengeluh.

“Tapi baru sekarang ini terjadi begini, Pak!” wajah sopir itu tampak merah padam. Malu dan mendongkol.

“Kau biasa menipu penumpang, ya?”

Sopir itu tergagap. Bibirnya gemetar. Beberapa kali mobil yang dikemudikan hampir mencium mobil lainnya. Bahkan ada pengendara sepeda yang kena senggol.


” Karya Herly Sauri “

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment