" BUKU HARIAN IBLIS " (Part 37)

Part - 37

Taxi Drive

Konsentrasi kemudinya mulai kacau.

“Wah, bisa mampus aku menumpang taksimu ini!” aku terus meracau menggodanya. “Jangan mengemudikan mobil seperti ini!”

Sopir itu menggigit bibir. Wajahnya semakin merah padam.

“Apa taksimu ini taksi gelap, ya?”

Tiba-tiba taksi itu berhenti mendadak. Sopir itu menginjak rem secara sembarangan. Tak ayal, kepalaku membentur jok depan.

“Sialan, apa maksudmu?” bentakku marah.

Tak nyana, sopir itu menyambar kerah bajuku. Dengan sekuat tenaga, ia menariknya. Mendekatkan wajahnya yang merah padam karena malu dan marah.

“Kalau kau tak bisa diam, akan kulumat kau macam perkedel!” ancamnya dengan nada bengis. Kemudian tangannya menghempaskan aku dengan keras. Aku terbanting membentur sisi mobil. Kembali kepalaku membentur benda keras. “Coba kau berani macam-macam lagi. Tahu akibatnya nanti!”

Aku  meringis. Pura-pura kesakitan.

Ghost Face

Sepanjang perjalanan aku tak membuka mulut lagi. Bukannya tak berani, tapi mulai bosan menggodanya. Setibanya di tempat tujuan aku langsung melompat keluar. Ketika sopir itu meminta ongkosnya, kujulurkan sejumlah uang.

Tetapi sopir itu menjerit sejadi-jadinya. Ketakutan setengah mampus. Karena tanganku yang menjulurkan uang tampak penuh darah. Aku sengaja membuatnya takut. Bahkan kuperlihatkan wajahku yang menyeramkan.

Dengan ketakutan luar biasa, sopir taksi melarikan mobilnya secara serampangan. Taksi itu melezat zi - zag. Beberapa kali moncongnya menghantam pinggiran jalan.

Aku tersenyum.


Zalbak


Beberapa saat kemudian, kembali aku menyusuri jalan setapak yang dulu pernah di tempuh bersama Morgin. Pohon-pohon singkong sudah lebat sekali  dan buah-buah nanas sudah tampak kekuning-kuningan juga.

Keanehan kurasakan di tempat ini tak kurasakan lagi berkelebatnya anak-anak cucuku. Akh, barangkali mereka memang sengaja menghindari kehadiranku.

Dari kejauhan, sudah tampak rumah joglo Domokus di kelilingi pohon-pohon kelapa. Kembali kerusakan keanehan, Domokus tak lagi menunggu kehadiran seperti tempo hari. Mustahil ia tak menyadari kehadiranku, kecuali kalau memang ia tak berada di rumahnya.

Didepan rumahnya, aku berdiri mengawasi situasi rumah joglo itu. Sepi. Tapi……… pintu rumah sedikit terkuak.

Aku ragu.

Tak lama kemudian, aku menyelinap masuk. Apa saja kerja si keparat Domokus itu.

Doyanyin & Domokus

Ditengah-tengah ruangan, tampak pemandangan yang menggiurkan. Dan sosok makhluk yang berlainan jenis tengah melaksanakan upacara seksuil. Itulah ritual yang menggambarkan bersatunya dua dewa. Persatuan yang abadi dan tiada berkeputusan.

Sayup-sayup terdengar suara mengalum.

Hling Kling kandarpa eraka.…….!”

Ritual mistik ini menggambarkan bahwa, wanita itu dewa, wanita itu kehidupan, wanita itu perhiasan. 
Beradalah selalu di tengah-tengah wanita. Sambil berpikir. Dengan persetubuhan itu akan mencapai samarasa atau persatuan yang sempurna.

Sekilas wajah wanita yang basah keringat itu tampak jelas. Aku terkejut. Donyanyin. Istri Zalbak. Aku menggigit bibir. Kiranya di tempat Domokus keparat ini, wanita haus ini memperoleh pelampiasan nafsu binatang liarnya. Sialan keparat Domokus ini. Ia telah melakukan sebuah dosa, selain di murkai Tuhan juga membuatku berang.

Sungguh luar biasa wanita ini. Aktivitas upacara maithuna itu seakan-akan langsung di bawah kendalinya. Tubuh Domokus yang menindihnya, di balik seketika. Sekarang Doyanyin bagaikan seorang nahkoda yang mengemudikan kapal layar di tengah amukan badai.

Aku menggigit bibir. Tubuhku bergetar halus.

Tiba-tiba mata Domokus menyorot tajam. Menembus kegelapan. Menemukan diriku yang sembunyi. Ia tersenyum.

Domokus memberi isyarat. Menyuruhku keluar. Aku memahami isyaratnya itu. Rupanya ia tak menghendaki wanita itu mengetahui hubungannya denganku.

Tanpa mengatakan sesuatu apa pun, aku pergi.

Di luar, aku segera menyelinap ke samping rumah. Bersembunyi di balik pohon kelapa yang bercabang tiga. Aku harus menghindar dari pertemuan langsung dari wanita itu.

Doyanyin

Benar juga, tak seberapa lama kemudian Doyanyin keluar dan langsung pergi dengan tergesa-gesa. 
Walaupun cara berjalannya seperti orang yang keletihan, namun bibirnya menyungging senyuman. Aku menggigit bibir. Aku merasa sangat geram dengan raga rombeng Zalbak.

Aku merasa seolah-olah seluruh dunia berpesta. Hanya aku seorang yang tak mendapat undangan. Sialaaaaaaan!

Setelah yakin wanita itu tak mungkin kembali lagi, aku segera masuk menemui Domokus. Aku menemui lelaki itu tengah tersenyum-senyum memuakkan. Seolah-olah lelaki jelmaan makhluk keparat ini tengah menertawakan diriku.

“Domokus,” seketika aku menghentikan senyuman tengiknya,” Apa yang kau lakukan dengan wanita tadi?”

“Huahahahaha……..!” Domokus tertawa terbahak lagi.

“Berhentilah tertawa!” hardikku. “Jawab pertanyaanku!”

Seketika Domokus bungkam. Namun tidak segera menjawab pertanyaan. Ia justru berjalan hilir mudik di seluruh ruangan itu. Seolah-olah hendak menguji lebih lama lagi kesungguhan kegeramanku.

Sebelum kemarahanku meledak kembali, Domokus segera menjawab. Entah mengapa aku sedemikian marah hari itu.

“Aku hanya mengikuti kecenderungan mereka saja , Bos!” jawab Domokus tak terpahami.

“Kecenderungan bagaimana maksudmu?”

“Oooo, rupanya Bos belum mengerti rupanya……!”

“Katakan saja langsung, jangan berbelit-belit!”

Kembali Domokus tak segera menanggapi langsung pertanyaanku. Ia justru sibuk hilir mudik di seantero ruangan. Kepalanya mengangguk-angguk beberapa kali. Seakan-akan ia melegakan sikap arif bijaksana dalam memilih-milih jawaban yang tepat. Tentu saja kekesalan semakin memenuhi rongga dadaku. Keparat ini  senantiasa punya cara untuk membuatku berang.

“Barangkali dapat kukatakan begini, Bos, Doyanyin sedang mencari sebuah pelarian. Sebuah kompensasi!”

Aku geram. Perkataan Domokus itu bagai mata pisau yang langsung mengenai ulu hati. Jelas ia menyindir tentang kelamahan Zalbak. Dan itu berarti pula mengenai diriku. Sialan. Untuk kesekian kalinya aku kembali mengutuk impotensi syahwat Zalbak, sehingga istrinya sampai berhubungan dengan manusia keparat ini.

Sebelum Domokus sempat membuka mulut lagi, aku segera melempar berkas-berkas yang kubawa ke depan hidungnya.

“Aku perlu penjelasanmu tentang berkas-berkas ini!”

Domokus sekilas melirik berkas-berkas itu, kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Itu sebagian permainan yang harus Bos ikuti.”

“Apa maksudmu?” tukasku kesal, karena Domokus tak segera menjelaskan.

“Karena Bos telah memilih raga Zalbak. Sedangkan dia adalah orang yang selalu mendapatkan perintah menciptakan permainan.”

“Permainan?”

“Ya, sebuah istilah High politic, Bos!”

Aku mengertabkan geraham. Domokus bersilat kata-kata. Tak langsung memberikan penjelasan.

“Katakanlah dengan sederhana,” ancamku, ”aku tak perlu mendengar khotbahmu!”

Domokus tertawa renyah.


” karya Herly Sauri “

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment