Part - 38
“Sesungguhnya berkas-berkas itu sudah berbicara banyak. Itu semua adalah kebusukkan akibat permainan politik. Artinya, kita tak sedang berhadapan dengan sebuah potret hitam-putih. Zaman, semakin maju. Para pelaku zaman tidak mutlak mewakili peran yang dimainkan. Acapkali mereka yang berperan sebagai tokoh baik dan bersih, namun sesungguhnya merekalah yang lebih pantas disebut cecunguk, pengkhianat, pendusta, dan tiran. Sebaliknya, mereka yang menjadi tertuduh sebagai kaum anarkis, pemberontak dan pengkhianat, justru merupakan pihak yang bersih dan pembela kebenaran.”
“Bukan jawaban itu yang kuharapkan!” aku kesal bukan kepalang. Karena bagaimana pun makhluk manusia bukan merupakan seteru baru bagiku. Kurun zaman demi kurun zaman telah mengajarkan, bahwa logika bagi kehidupan manusia tak lain adalah kekuatan dan kekuasaan. Dengan kekuatan dan kekuasaan apa pun dapat di ciptakan. Bahkan kekuatan dan kekuasaan sanggup pula merekayasa sebuah kebenaran. “Aku hanya membutuhkan penjelasanmu tentang berkas-berkas itu. Tak lebih.”
“Kalau Bos menginginkan jawabannya, maka akan kujawab!” jawabnya ketus. “Bagaimana?”
Tanpa berkata-kata lagi, langsung kusambar lehernya dan kupuntir lehernya sampai ia tersengal-sengal.
“Bangsat!” umpatku murka. “Mau bersungguh-sungguh atau mau bercanda?”
“Maaf, maaf, maaf, Bos !”
“Mau jawab atau tidak?”
“Mau, mau, mau ……..!”
“Mau bagaimana………?”
“Ya, ya, aku mau jawab!”
“Okey. Aku sudah muak dan mau muntah saja melihat ketengikkanmu itu!”
“Baik, akan kujawab, Bos!”
“Cepat!”
“Tetapi bagaimana aku bisa menjawab, sedang leherku Bos puntir seenaknya!”
Seketika aku lepaskan. Astaga naga, aku lupa tetap memuntir lehernya. Aku betul-betul hilang akal berhadapan dengan makhluk ini. Mengapa sih aku harus di takdirkan mempunyai garis keturunan yang memuakkan ini. Aku saja sudah sedemikian pusing menghadapinya, apalagi makhluk lainnya.
Sebelum menjawab, Domokus mengambil napas panjang. Menormalkan sesak dadanya. Namun aku tahu, sekian banyak akal licik pasti berkelebatan di jidat busuknya itu.
“Berkas-berkas itu telah cukup berbicara bahwa sekarang tengah terjadi krisis kepercayaan!”
“Apa sebab utamanya?” tanyaku dengan berlagak tolol. “Tolong ungkapkan dengan bahasa sederhana, jangan berbelit-belit!”
“Hahahaha………!”
“Kenapa kau tertawa?”
“Kiranya Bos alergi terhadap high politic.”
“Peduli demit, lanjutkan saja penjelasanmu itu!”
“Baik, dengusnya. Penguasa sebagai pemegang otoritas politik, kelewat berlebihan dalam mendudukkan dirinya sebagai pihak pengatur rakyat. Kecenderungan pihak pengatur, tentu saja menginginkan aturannya dapat ditegakkan. Karena itu, harus diupayakan semaksimal mungkin menuntut ketundukkan semua orang.”
“Mereka terjebak sifar arogannya sendiri, betul?”
“Tul, Bos pinter!” canda Domokus.
“Kampret!”
“Aku lanjutkan,” sambungnya cepat. Menghindar dari kedongkolanku. Akibat politik arogan mudah di tebak. Masyarakat kehabisan daya dan kreativitas. Dan di lain pihak, posisi kemenangan semu penguasa itu justru identik dengan kemenangan dalam kekalahan. Mereka tidak mendapatkan dukungan yang sesungguhnya dari masyarakat. Dan di samping itu, banyak oknum yang lupa daratan.
Mereka yang justru menjadi pihak yang tak mau di atur. Bahkan dapat dikatakan tak ada suatu aturan pun yang dapat menyentuh dan dapat menghalangi tindakan-tindakannya. Mereka sudah mewakili sebuah anarki dalam arti yang sesungguhnya. Panggung politik merupakan gambaran yang transparan dari keselingkuhan watak yang paling busuk dan menjijikan. Pengkhianat, dusta dan kesewenang-wenangan hampir terjadi di segala bidang.”
Sejurus aku tersenyum bahagia. Pengkhianat, dusta, dan tiranisme nyaris menjadi amal ibadah manusia sekarang.
“Lantas apa keterlibatanku, dan apa keuntunganku di dalamnya?”
Domokus justru tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan ia hendak menjawab pertanyaanku itu dengan terbahak-bahaknya.
“Tentu Bos tak perlu aku ajari lagi bukan, bahwa antara kekuasaan dengan moralitas sama sekali tak ada hubungannya. Yang mereka dikehendaki sekarang adalah sebuah terapi agar masyarakat tak terlampau memperdulikan keselingkuhan politiknya. Diperlukan kondisi dan situasi baru yang bisa mengalihkan perhatian masyarakat”.
Aku terdiam sejurus. Aku mulai mengerti posisi Zalbak. Akh, kiranya aku telah memakai raga seorang oportunis politik.
“Bos akan mendapatkan tugas untuk menciptakan kondisi dan situasi baru itu!” Domokus kembali tertawa terbahak-bahak. “Selamat bertugas!”
Sikap Domokus seperti membuatku semakin dogol saja. Tanpa permisi lagi. langsung aku pergi.
Dalam perjalanan pulang, jidatku seakan-akan di penuhi ulat-ulat yang mengeriyap. Apa keuntunganku dalam semua permainan busuk itu. Aku tak peduli sebetulnya apakah negara ini akan berkeping-keping atau tidak. Toh tak ada hubungannya dengan misi turunnya aku kebumi manusia ini. Ya, aku hanya menginginkan menemukan calon musuh tangguh yang di sodorkan anak-anak cucuku. Selain itu tak ada. Aku harus segera mengalahkannya. Setelah itu, aku mau ambil cuti saja. Menunggu-nunggu kiamat sambil bersantai dan tiduran di satu sudut horizon.
Demolition
Toh, aku pun ini rahasia lo tak menghendaki betul kehancuran manusia dalam arti yang sebenarnya.
Karena kehancuran manusia secara total, justru mengundang datangnya hari kiamat semakin cepat saja. Kan berabe juga bagiku. Kalau bisa datangnya hari Maha Dahsyat itu di undur-undur saja. Caranya, jangan membuat kerusakan dan kehancuran dalam kehidupan manusia secara keterlaluan. Biarkan hidup beberapa manusia yang masih peduli terhadap kehidupan bersih dan mulia, selebihnya bikin saja mereka menjadi setengah binatang setengah manusia. Jadi demitlah mereka, hehehe.
” karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment