Part - 44
Agama hanya merupakan pemoles atau pemanis dari sekian kebutuhan hidupnya. Agama kurang lebih hanya sebagai kebutuhan sekunder belaka, kecuali untuk beberapa gelintir manusia saja.
Tokoh pembangkang ini pasti akan kandas. Andaikan ia berhasil, aku pun tak begitu peduli. Bangsa ini, ya, bangsa ini apabila sudah mencapai tujuannya segera menjadi lupa daratan.
Dari perjuangan agama, akhirnya melenceng menjadi perjuangan demi perut dan syahwat belaka. Oho, gambaran yang buruk sekali, bukan? La, aku kan Iblis. Tentu dong memberikan gambaran negatif, agar menimbulkan perasaan frustasi. Benar, kan? He he he.
Barangkali kesimpulan terlalu vulgar terhadap tokoh itu.Tetapi, aku tak punya gambaran lain. Sedangkan terhadap sosok Tortotor? Ah, kemana sekarang orang itu ?
Ada yang kucemaskan. Aku terlanjur memberinya tugas. Sedangkan situasi sudah berubah dari perkiraan semula. Huru-hara ternyata meledak lebih dahulu, sebelum kekacauan kamuflase yang direncanakan penguasa sempat dicetuskan.
Aku segera menghentikan orang itu. Tortotor sungguh sering diluar dugaan.
Mungkinkah aku tertipu? Ah, aku sangsi. Tokoh pembangkang itu sungguh beda dengannya. Tortotor memiliki mata yang merupakan cerminan pribadi orangnya. Matanya yang bagai kegelapan yang paling dalam, sungguh sanggup memancarkan getaran-getaran listrik yang menaklukkan.
Tortotor memiliki sifat-sifat seekor burung rajawali. Senantiasa menyendiri dan mengembara. Apabila ia memiliki perasaan terikat untuk perbaikkan masyarakat, maka ia akan menyibukkan diri mengabdi tanpa memikirkan dirinya. Ia tak akan terikat oleh kepentingan pribadinya.
Seolah-olah dirinya tetap dalam keterpencilan dan tak pernah ada. Sungguh berbahaya apabila kepercayaan yang kuberikan justru di pergunakan untuk menghimpun pengikut. Ia akan menjadi tokoh yang sulit untuk diajak kompromi.
Ah, mengapa aku baru sekarang berpikir demikian. Apakah karena situasi sudah berubah, sehingga rencana pun harus berubah ?
Aku harus mencari Morgin untuk menghentikan Tortotor.
Dengan kesal aku menunggu kedatangan Morgin. Namun orang itu tak muncul-muncul. Apakah ia sudah mampus ditelan huru-hara semalam ? Kambing, eh, kampret ! Apabila sampai tengah malam nanti ia belum juga muncul, tak bisa tidak akan kubuat pingsan dia itu orang.
Sampai keesokkan harinya, ternyata benar firasatku : Morgin tak muncul. Aku murka luar biasa. Untungnya aku mendapat pelampiasan kemarahan. Pelayan yang kebetulan mengantarkan makanan, langsung kusambar dan kubanting sampai pingsan.
*****
Situasi negeri tetap tak berubah. Tegang. Seakan-akan saraf setiap orang bekerja ekstra lebih keras dari biasanya. Huru-hara yang diperkirakan akan kembali meledak, ternyata tak kunjung terjadi.
Semua orang menunggu-nunggu sesuatu yang serba tak pasti, akhirnya, semua orang menjadi letih dengan sendirinya. Semangat semua menjadi anjlok. Karena diteror penantian yang sia-sia.
Sampai satu minggu, tak ada sesuatu pun yang terjadi. Kehidupan pelan-pelan kembali berjalan normal. Pernyataan-pernyataan resmi yang gencar sedikit demi sedikit mengembalikan kepercayaan rakyat.
Namun pasukan pemerintah tetap dalam keadaan siap siaga. Karena keadaan yang sebenarnya memang masih rawan. Keadaan jadi tenang karena rakyat mudah dan terbiasa di tipu.
Tanpa dinyana, sekonyong-konyong Domokus datang menemuiku.
“Oh, Guru rupanya yang datang!” kataku pura-pura hormat.
“Ah, Bos jangan bercanda. Kini aku sudah tahu posisiku. Aku hanya seorang hamba sahaja Bos saja. Aku membawa kabar penting.”
“Aku siap mendengarkan !” jawabku antusias.
Sejurus Domokus menarik napas lega. Barangkali ia memang berharap betul aku mendengarkan penjelasannya.
“Aku mengikuti dengan seksama semua kejadian belakangan ini. Baru kemudian aku menjadi tahu siapa dalang yang berdiri di belakang huru-hara kemarin lalu.”
“Tapi, siapa sebenarnya orang itu ?” tanyaku penuh harap.
“Bukankah Bos lebih tahu, karena Bos pernah memperlihatkan hologramnya kepadaku tempo hari.”
“Betul. Namun bukan berarti aku mengenalnya!”
Domokus mengangguk-angguk. Agaknya memang ia mempunyai sumber berita menarik untuk kudengarkan.
“Bagaimana?” tanyaku tak sabar.
“Sebaiknya Bos mengikuti saja ke tempat persembuyiannya,” katanya sambil memandangku penuh selidik. “Bukankah sebaiknya begitu, mengingat tugas Bos tertunda gara-gara huru-hara yang dicetuskan.”
“Memang sebaiknya begitu,” sahutku penuh antusias. “Aku pun ingin mengenalnya lebih jauh siapa bakal musuh yang harus kuhadapi itu.”
“Apakah tidak sebaiknya kujelaskan dahulu tentang dirinya itu, Bos?” kata Domokus menawarkan.
“Itu pun baik. Namun, bukankah ia bakal musuh yang harus kuhadapi?”
“Seharusnya Bos mengenalnya sendiri. Namun, aku menjadi cemas dengan misi yang diperjuangkan!”
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment