'' BUKU HARIAN IBLIS '' (Part 45)

Part - 45


Aku tersenyum. Aku memaklumi jalan pikiran Domokus. Sebagai paranormal, memang rata-rata tak berwawasan jauh kecuali apa-apa yang telah diterimanya melalui indra keenam mereka yang telah ditunggangi Jin Iffrit.

Aku tahu Jin Iffrit itu tak rajin baca, kurang literature, dan sukanya hanya mencuri pendapat orang saja. He he he.


“Baik. Aku hargai penjelasanmu !”

Kembali Domokus menarik napas lega seperti orang kena penyakit asma.

“Tokoh bernama Bang Xis. Pribadinya merupakan cerminan sempurna seorang ulama. Ilmunya luas bagaikan samudra. Ketenunan ibadahnya tak tercela. Rajin bangun tengah malam. Apabila ayat-ayat kitab suci  dibacanya, bergetarlah tubuhnya. Dahinya menghitam karena bekas sujud. Dan senantiasa terisak-isak dalam kekhusukan shalatnya. Hampir tak ada cela dalam kehidupan pribadinya.”

“Uji dengan kekayaan!” tantangku.

“Dia kaya luar biasa!” tukas Domokus.

“Uji dengan perempuan!”

“Istri-istrinya cantik luar biasa!”

“Tawari dia dengan kedudukan!”

“Kedudukan sudah berada di puncak!”

“Apa?” aku terlonjak kaget. Aku betul-betul harus terkejut mendengar jawaban Domokus kali ini.
“Yang benar saja kau berkata!”

“Benar, Bos!” sahut Domokus tegas. “Jabatannya yang sekarang digenggamnya justru lebih tinggi dari jabatan formal yang ada. Apabila kedudukan presiden, jangka waktunya terbatas dan sewaktu-waktu digusur saingannya. Sedangkan jabatannya sebagai tokoh agama, ulama besar, pemimpin umatnya, sungguh melebihi kedudukan formal mana pun.

Ia dihormati dari hidup sampai matinya. Kata-katanya dihormati dan dijadikan pedoman. Para pengikutnya sangat tunduk patuh, bahkan nyawanya sekalipun akan rela mereka berikan demi membela Sang Guru!”

“Lantas!”

“Sama sekali tak ada cela untuk menjatuhkannya, Bos!” kata Domokus frustasi. “Akan merugikan misi kita, Bos!”

“Ah, aku paling tak suka mendengarkan kata putus asa itu. Putus asa adalah kata yang paling kubenci, tahu?”

Domokus diam.

“Mari berangkat. Antarkan aku kepada Bang Xis!”


*****


Ketika mobil yang kukendarai ke luar rumah, hari telah menjelang petang hari. Di ufuk horizon telah memerah saga. Hari mulai gelap tanpa ampun.

Di sampingku, Domokus duduk tepekur. Diam seribu bahasa bagai perkutut kehujanan air cabe. Aku diamkan saja. Biar pikirannya pusing dengan sendirinya.

“Kemana kita, Domo?”

“Terus saja keluar kota melalui jalan Barat!”

Sialan, dari tadi ia diam saja ketika aku melanjutkan mobil kearah jalan tol arah Timur.

Dengan kesal, sekali banting aku memutar arah mobil. Beberapa mobil di belakangan jadi blingsatan. Tak terhindar insiden segera terjadi.

Tabrakan cukup seru menyebabkan beberapa mobil keluar jalan dan ada yang langsung terguling. Malah ada dua pengendara sepeda angin yang terpelanting dan tersangkut diatas pohon kamboja.


Tak pelak tawon yang bertengger di atas ranting pohon itu tadi jadi murka dan menyerbunya. Nahas, keduanya jadi jatuh karena bingung dan ketakutan.

Mobil sudah sampai di tapal batas gerbang kota sebelah Barat. Namun, Domokus tampak diam membeku.

“Kampret kau, Domokus!” umpatku kesal. “Kemana kita sekarang!”

“Terus saja dulu, ”kata Domokus seperti tersentak. “Ya, terus saja sampai di kilometer sepuluh, kita ke kiri.”

Tanpa ragu lagi, segera kutancap gas secara gila-gilaan. Mobil melesat seperti angin. Dalam waktu tak seberapa laman, tempat yang dimaksud Domokus sudah dekat.

Ia menyuruh memperlambat lajunya kendaraan. Hm, sebuah tempat yang cukup jauh dari kesibukkan kota.

“Belok kiri!”

“Betul ini tempat yang kita tujuh?”

“Aku sudah sekali menyusup ke dalam!”

“Tak kulihat seperti markas seorang pemberontak!” sanggahku sedikit ragu.

Kulihat tempat yang ditunjukkan Domokus adalah sebuah gedung tingkat tiga yang mentereng. Model klasik bergaya Spanyol.

Halamannya sangat luas dengan taman teratai putih di tengah-tangahnya.

Ada dua-tiga mobil sedang parkir di depan pintu utama. Dua penjaga berjaga disana.

Ya, sama sekali tak kulihat kegiatan yang berarti disana, apalagi kegiatan yang menyerupai kegiatan maker.

“Apakah tokoh Bang Xis memang tak ada celanya?”

“Tak ada skandal sama sekali dalam kehidupan pribadinya, Bos,” jawab Domokus menegaskan.

“Sama sekali tak ada celanya. Dia menjadi tokoh penting bukan karena dikehendaki sendiri, namun karena dipaksa keadaan. Barangkali rakyat banyak sudah bosan memberikan kepercayaan pada tokoh-tokoh politik. Mereka sudah bosan ditipu terus-menerus. Akhirnya, dia daulat untuk memimpin umat. Dan dia merasa berkewajiban untuk melaksanakan amanat itu!”

Aku diam tercenung.

Berat juga musuh yang kuhadapi kalau semua yang dikatakan Domokus ini benar! Namun tak ada kamus putus asa dalam hidupku. Aku adalah makhluk yang diciptakan dari api. Semangatku senantiasa panas seperti nasi bubur baru diangkat dari tungku. Selalu hangat dan ngebul-ngebul. He he he.
“Mengapa Bos tercenung sembari senyum-senyum?” tanya Domokus curiga.

Aku menyeringai. Habis aku teringat pada salah satu korbanku di zaman Nabi Musa. Ulama Bal’an. Gambarannya tak ubahnya dengan Si Bang Xis ini. Ulama tanpa cela. Ilmunya juga seluar samudra. Ketekunan ibadatnya tanpa cela.

Rajin bangun tengah malam. Apabila diperdengarkan ayat-ayat neraka, bergetarlah tubuhnya. Seakan-akan ia telah berdiri ditepian neraka sendiri.

Dahinya hitam karena banyak bersujud. Hampir tak ada cela dalam kehidupan pribadinya.

Nyaris aku tak memperoleh celah untuk menjerumuskannya. Namun aku tak putus asa.



” Karya Herly Sauri “

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment