Part - 51
Tanpa sadar aku mencuri pandang ke arah Morgin. Tanya nyana kiranya Morgin pun tengah menyeringai ke arahku. Sialan.
Pandang matanya seolah menuduhku bagaikan maling ke siangan. Seketika itu aku membuang muka.
Fuihh, pahit betul kekalahan ini. Ibarat seekor babi yang terus-menerus berjalan dengan kepala tertunduk, bukan karena sebab yang lain namun karena tahu bahwa ia berbapakkan seekor babi pula. Malu.
Demikian juga aku kali ini, aku malu karena aku seolah-olah telah diciptakan sebagai makhluk yang senantiasa untuk kalah dan terpuruk.
Morgin tetap bercericau :
“Huru-hara ini sengaja di ciptakan, agar roda kehidupan masyarakat dan negara ini berjalan sehat kembali. Untuk tujuan yang berlingkup besar ini maka terdapat ketentuan hukum untuk mentoleransi jatuhnya korban. Seberapa pun banyaknya kerugian jiwa dan harta.”
Sejurus Morgin terdiam. Bungkam. Tangannya pelan-pelan menghunus sebatang sigaret. Menyulutnya. Mulutnya mengebul-ngebulkan asapnya membentuk cincin-cincin di udara. Persis bentuk mulut Morgin sendiri.
Seandainya aku tidak mengalami sendiri semua kebusukkan ini, sulit rasanya aku mempercayai cerita si Morgin. Kentutnya saja tak ku percaya, apalagi omongannya.
“Aku berusaha mempercayai omonganmu, Morgin!” pancingku agar ia nyerocos kembali.
“Seharusnya memang begitu!” ungkapnya pendek. Selanjutnya ia bungkam. Bagaikan kehabisan baterai untuk berbicara terus.
“Siapa otak yang berdiri di belakang rekayasa besar itu, Morgin?” tanyaku di dorong rasa ingin tahu yang besar.
Morgin tetap mengebul-ngebulkan asap rokoknya. Tak peduli pertanyaan tadi.
Namun dari sikapnya seolah mengisyaratkan bahwa aku tak membutuhkan jawaban pertanyaan itu
“Katakanlah, Morgin!” desakku penasaran.
Morgin tetap menjawab. Ia sibuk menciptakan cincin-cincin asap.
“Katakanlah, Morgin!” desakku kesal. Morgin menoleh.
“Dengan satu syarat!” sahutnya ketus.
“Apa syaratmu!”
“Aku muak menjadi comberan. Aku terbiasa hidup berkecukupan dengan Zalbak!”
Aku sejurus terkesiap. Sekilas ku mencuri pandang. Namun Morgin pura-pura tak peduli.
“Kau tahu siapa aku yang sebenarnya?”
“Tahu!” jawabnya ringan.
“Tahu dari siapa?”
“Tortotor!”
Ada getar aneh di dada. Orang itu memang banyak membuat kejutan-kejutan tak terduga.
“Baiklah, Morgin, aku penuhi permintaanmu. Sekarang katakan siapa yang menjadi arsitek di belakang semua huru-hara sandiwara ini?”
“Tortotor, Bos!”
Aku terlonjak setengah mampus. Kali ini aku betul-betul harus terkejut. Orang itu memang banyak membuat kejutan-kejutan tak terduga. Namun kali ini sungguh jauh melampaui dugaanku. Aku merasa terkecoh.
Kiranya kunyuk itu musuh yang selama ini kucari. Namun aku sulit mempercayainya kenyataan seperti itu.
“Apakah sebesar itu peranan Tortotor, Morgin?” sanggahku memancing reaksi Morgin. Aku tak seharusnya mempercayai mulut satu orang ini.
Selain otaknya tak beres karena mabuk, juga otaknya nyaris tak berisi apa-apa.
“Mengapa kau mengetahui semua sandiwara ini”. Rasanya sulit aku untuk percaya omonganmu!”
Tak terduga Morgin menyeringai. Tengik. Aku tak dapat membedakan benar-tidaknya omongan orang ini.
Sejurus kemudian Morgin membuang muka. Ia mulai sibuk mengebul-ngebulkan asap rokoknya.
Aku memandangi tanah lapang. Merenungi kegelapan. Ya, seandainya Morgin adalah makhluk seperti diriku, maka aku tak yakin ia akan sudi memilih jalan mengikuti jejakku.
Penuh tragedi dan kebusukkan. Selebihnya adalah kekalahan dan kepahitan. Jalan hidupku bagaikan tanah lapang itu. Tergantung sepenuhnya kepadaku untuk mengarunginya.
Sedangkan jalan yang kutempuh adalah bagaikan kegelapan itu. Di mana kegelapan pada hakikatnya adalah sebuah kekosongan. Kosong dari terdapatnya cahaya benderang.
Karena cahaya benderang sejak semula telah sirna dari kamus hidupku. Ya, aku telah lebih suka memilih kekosongan dari cahaya benderang. kegelapan.
Kegelapan yang ku ciptakan sendiri. Dan Tuhan tak pernah menciptakan kegelapan.
Aku terus-menerus menatap kegelapan. Di sampingku, Morgin diam-diam terlelap dalam kantuknya yang dalam.
Di depan, lampu pikap itu tak juga padam. Menyorot ke tempat aku dan Morgin duduk berselonjor.
“Kau sudah tidur, Morgin?” tanyaku tak yakin.
“Sejak malam ini aku tak akan pernah tidur lagi, Bos!”
Aku terdiam. Tak bergairah untuk bercakap-cakap lagi. Aku memandangi tanah lapang.
Menatap kegelapan. Menatap jalan hidup yang terasa semakin jauh saja. Tak terasa air mataku menetes mengingat kekalahanku yang harus aku tengguk sendiri.
*****
The end of story about “Diary of Satan”
FINISHED
Penulis : Herly Sauri, di terbitkan tahun 2004.
Dalam bentuk bacaan koran Jawa post Surabaya.
Dalam bentuk bacaan koran Jawa post Surabaya.
Thank’s for Herly Sauri
Thank’s for all Readers
NB;
Dan jika seorang raja lalim ingin kau turunkan tahtanya, pertama-tama tumbangkan dulu tahta yang kautegakkan dalam dirimu. Sebab, bagaimana mungkin seorang tiran memerintah orang bebas dan berharga, kecuali dengan tirani di dalam kebebasan mereka dan rasa malu di dalam rasa harga diri mereka?
Dan jika seorang raja lalim ingin kau turunkan tahtanya, pertama-tama tumbangkan dulu tahta yang kautegakkan dalam dirimu. Sebab, bagaimana mungkin seorang tiran memerintah orang bebas dan berharga, kecuali dengan tirani di dalam kebebasan mereka dan rasa malu di dalam rasa harga diri mereka?
Dan jika kesusahan yang hendak kautanggalkan, ingatlah bahwa kesusahan itu pernah dimiliki olehmu, bukan dibebankan pada dirimu. Dan apabila ketakutan yang ingin kau halau, singgasana ketakutan itu ada di hatimu dan bukan di tangan orang yang kautakuti.
Sesungguhnya, semua hal yang dengan tetap bergerak di dalam dirimu setengah merangkul, antara yang di inginkan dan yang di takuti, yang menjijikkan dan yang dihormati, yang diburu dan yang hendak ditinggalkan. Kahlil Gibran.
IBLIS
1 comments:
apakah ini ada lanjutan ceritanya kak?
Post a Comment