Part - 10
Dengan kemampuanku, maka dalam sekejab muncul hologram ditengah-tengah ruangan itu. Memproyeksikan figure seorang laki-laki. Perawakannya sedang-sedang saja. Rambutnya terurai sebahu dan berombak.
Wajahnya hitam cerah dan memiliki garis-garis tegas dan kuat. Menandakan kerasnya kemauan. Tatapan matanya mirip mata elang, tajam, dan tampak dalam. “Akan kuhancurkan kau, kunyuk!” desisku penuh dendam.
“Akan kubuktikan, bahwa aku sanggup menjadikanmu makhluk hina dan terkutuk. Lebih hina dan lebih terkutuk daripada diriku. Bahkan akan ku jadikan kau serendah-rendahnya makhluk!” Bayangan maya itu juga menatap dengan sorot mata elangnya.
Seakan-akan bayangan maya itu bereaksi terhadap ucapanku. Tentu saja, aku terkejut dan terkesiap. Walaupun bayangan maya itu tetap diam, namun sorot matanya itu sanggup menggetarkan. Aku hampiri bayangan maya itu. Tangan terulur kedepan bagaikan hendak mencekik tenggorokkannya. Namun, tanganku hanya menyentuh ruangan hampa. Namun anehnya bayangan maya itu seperti menyunggingkan sebuah senyuman.
Kembali aku terbeliak dan terkesima. Karena pada mulanya, aku hanya bermaksud mentranformasikan bayangan belaka. Bukan seperti halnya sekarang, bayangan maya itu justru reaktif. Membalas sikap dan ucapanku layaknya orang sendiri yang tengah berhadapan langsung denganku. Dengan penuh kemurkaan, kuhantam sosok bayangan itu. Seketika itu hantaman tanganku menimbulkan angin menderu.
Bayangan maya itu seperti kepulan asap yang terkena angin puting beliung. Berpusar dan kemudian musnah sama sekali. Kini tinggallah aku sendirian kembali. Berdiri di tengah-tengah ruangan kamar. Mata menatap sekeliling. Namun tak lagi menemukan siapa-siapa. Sepi dan bisu.
*****
Keesokkan harinya, seseorang datang. Pelayan memberitahukan namanya Morgin. Tangan kanan Zalbak.
“Pak Zalbak, Morgin sudah datang!” ………. “Suruh dia masuk!”
Tak lama, Morgin menemuiku. Kuperhatikan betul orang kepercayaan Zalbak ini. Orangnya berperawakan tinggi besar. Berambut pendek dan kaku. Aku yakin di dalam tempurung kepalanya tak berisi apa-apa, kecuali sekepal otak yang tak pernah berpikir. Kalaupun otaknya berfungsi, paling tidak hanya berisi kekotoran.
Orang semacam Morgin tak pernah punya inisiatif sendiri untuk bertindak. Segala perbuatannya hanya berdasarkan perintah atau komando orang yang dianggapnya mempunyai kedudukan lebih tinggi. Ia bisa menjadi anjing setia apabila semua kebutuhannya terpenuhi. Namun juga sebaliknya, bisa jadi srigala buas apabila sedang mata gelap dan kelaparan.
“Maaf, Bos,” katanya parau, ”terlambat datang!”
“Mengapa?” tanyaku asal menimpali. Karena bagaimanapun aku belum tahu permasalahan yang diberikan Zalbak kepada orang tolol ini. Itulah yang kini kusesali. Hampir segala urusan di rumah ini aku nyaris buta sama sekali. Mengapa sebelum aku menyaru sebagai Zalbak, tidak kupelajari dulu segala urusan dalam keluarga ini. Dan setan-setan keparat itu seakan-akan membiarkan aku begitu saja. Bahkan sampai kini, mereka tak pernah muncul berkeliaran di rumah ini. “Morgin, jelaskan mengapa kau terlambat datang!”
“Begini, Bos,” sahutnya lesu. “Sungguh sulit sekali mencari orang yang benar-benar dapat diandalkan untuk menjadi penjaga keslamatan Bos sendiri. Kebanyakan di antara mereka yang benar-benar jawara, namun pernah berstatus narapidana. Bukankah hal itu tidak Bos kehendaki?”
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Kini aku mulai mengerti apa yang dikehendaki Zalbakdari orang ini. Morgin disuruh untuk mencari seorang jawara untuk menjadi pengawal pribadinya.
“Sekarang, bagaimana…..?” aku menatap Morgin tajam. “Kau sudah dapatkan orangnya atau belum, Morgin……?”
Morgin tak segera menjawab. Ia tampak bingung.
“Sudah, sudah, Bos……..” jawab Morgin ragu. “Namun orangnya tak bisa datang sekarang!”
Braaak!
Gebrakan meja membuat Morgin terkejut. Aku pura-pura menunjukkan kekesalan melihat kerjanya setengah-setengah.
“Mengapa tak kau cari orang yang lain saja. Morgin!” bentakku. “Bukankah sudah sering ku katakan, kalau kerja jangan setengah-setengah. Ingat kata-kataku itu!”
“Seingatku, Bos tak pernah memberi perintah begitu, kok!”
Aku terkejut. Kiranya Zalbak tak pernah memperhatikan cara kerja anak buahnya.
“Ya, sekarang ini aku bilang begitu,” sahutku sambil membelakangi. Menyembunyikan kesalahan kecil itu. “Ingat ya!”
“Ya, Bos!”
“Nah, kalau begitu, kau cari penggantinya saja!”
Morgin bungkam. Mulutnya tampak gemetar. Aku tahu ia ingin bicara lagi.
“Apalagi sekarang maumu?”
“Begini, Bos,” Morgin menyeret sebuah kursi. Duduknya bertambah dekat, ”aku sudah keliling dari satu tempat ketempat lainnya.
Namun, tak seorangpun yang betul-betul diandalkan. Hanya Tortotor saja orangnya yang memenuhi persyaratan yang diminta Pak Domokus”.
“Pak Domokus?” celetukku tak sadar.
“Ya, Bos! Bukankah Pak Domokus yang menasehati Bos untuk segera mencari pengawal pribadi untuk menjaga keslamatan Bos dari ancaman!”
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment