'' BUKU HARIAN IBLIS '' (Part 12)

Part - 12 
“Oh, ya Pegas……….” aku kembali tersenyum. “Kalau kau ingin melakukan sebuah pekerjaan penting, maka lakukan lagi perintahku kali ini”.
“Perintah apa, Tuan?” ia tersenyum senang.

“Kalau Nyonya Besarmu datang,  suruh ia angkat kaki juga dari rumah ini.  Kalau kau tak melakukan perintah ini, maka riwayatmu tamat sampai di sini”.

Sebelum Pegas sempat terperanjat, aku telah pergi meninggalkan Kepala Pelayan yang di landa kebingungan luar biasa itu. Mungkin sekarang ia merasakan dunia telah terbalik sungsang. Sampai aku pergi, ia tetap sendiri mematung.


Dari dalam mobil limosine, aku jelalatan memandang kesibukkan keseharian manusia. Aku tersenyum puas. Ternyata , kemajuan yang kini merebak di segala bidang kehidupan, membuat manusianya hanya di sibukkan urusan mengejar materi dan kesenangan belaka.
Jiwa mereka betul-betul kering kerontang. Maka, ketika mereka keletihan memenuhi nafsu tamaknya terhadap materi, mereka berusaha menghibur diri dengan kesenangan dan kemaksiatan yang sepuas-puasnya. Pelarian yang membuat jiwa-jiwa mereka semakin haus dan haus. Sedangkan bagi yang lemah, miskin dan yang tersisih, setiap saat mereka bersedia jadi setan sekalian pun. Karena dalam zaman kemajuan, persaingan dalam urusan materi sedemikian sulit dan tanpa belas kasihan. Untuk urusan memenuhi kebutuhan perut saja terasa setengah mampus!

Akibat dari kondisi dan situasi semacam itu, mudah di tebak. Demi memperoleh pembagian keuntungan materi, apa pun di perdagangkan. Tak pandang bulu. Bulu macan, bulu ayam, bulu ketiak, sampai jabatan, kursi, di perjualbelikan baik secara terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi.

Aku tersenyum puas. Kiranya, hasil jerih anak-anak cucuku memperoleh kemajuan pesat di kurun zaman kemajuan ini. Maka, sudah jelas aku bersedia menjadi pendukung mula-mula dan utama terhadap segala daya upaya pembangunan di segala bidang. Dan di sela-selanya, kusisipkan anak-anak cucuku untuk berpartisipasi aktif.

Disepanjang jalan yang kulewati, tampak anak-anak cucuku beroperasi menebar maksiat dan dosa. Tanpa sengaja aku tertawa terbahak-bahak. Bagaimana bisa aku dapat menahan kelucuan melihat segala ulah anak-anak cucuku.

Mereka bergelayutan di mana-mana. Ada yang menongkrongi kepala seorang pejabat, kiai, pandita, pendeta, pedatang, sampai pelacur dan garong. Ada yang nongkrong di gedung-gedung pemerintahan, pemancar televisi, pemancar radio, kubah-kubah masjid, gereja, dan gedung-gedung pendidikan. Aku betul-betul terbahak-bahak. Tentu saja, Morgin dan sopir yang melihat ulahku terbengong-bengong.
“Lha, Bos ini mabuk sebelum minum, ya?” tanya Morgin kurang ajar.

Ucapan Morgin tak kupedulikan. Aku benar-benar tak dapat menahan diri melihat ulah tingkah anak-anak cucuku. Setan-setan keparat itu betul-betul sudah nyaris menguasai dan mempermainkan sebagaian besar manusia dengan luapan kegembiraan yang besar, aku membuka jendela mobil. Melongokkan kepala.

“Bos, tidak biasanya berlaku begitu!” tegur Morgin dengan mimic tolol.

“Apaan?”

“Tidak biasanya Bos berlaku seperti tadi!”

“Beraninya kau menegurku, hah?” bentakku.

“Tidak, tidak, Bos,” sahutnya gagap.

“Maksudku, adakalanya baik bagi kita untuk menahan diri. Demi menjaga nama baik dan kehormatan Bos sendiri”.


” Karya Herly Sauri “

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment