'' BUKU HARIAN IBLIS '' (Part 9)

Part - 9

GENESIS

aku, dapat berubah-ubah jenis kelamin. Mau jadi laki, atau jenis betina, bahkan bencong alias AC/DC sekalipun, bisa juga. Hehehe.
“Mengapa tidak boleh sayang?” tanya Donyanyin tersebut.
Aku tersenyum masam. Tanganku memeriksa selangkanganku. Ternyata di sana, aku menemukan alat vital………Zalbak. Serta merta aku terbahak-bahak. Senang juga menjadi manusia sempurna, pikirku. Sebagai manusia, kini aku begitu nafsu untuk menggarap Donyanyin.

Dengan sekuat tenaga, aku balik tubuh sintal itu. Dengan kasar, kurobek pakaiannya. Maka kini Donyanyin kutindi tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Donyanyin berdesah. Nafasnya bagai ombak di pantai. Nafasnya bagai badai. Ingin ku ciptakan simponi percintaan yang paling indah dan penuh gemuruh.


“Oh, Papa sayang, cepatlah, cepatlah………..!” desah Donyanyin.
Tiba-tiba aku terkejut. Dahiku berkeringat. Dadaku penuh gejolak kemarahan. Setelah sekian lama dengan Donyanyin, ternyata alat vital Zalbak tetap mampus. Tak bangun-bangun. Aku mengerang. Kemudian, pelukanku mengendur.

Donyanyin tersenyum. Ku tangkap senyumnya penuh arti.
“Tidak, Papa, tidak apa-apa……….!” katanya. Tangannya mengusap-usap punggungku yang berkeringat dingin. “Kita harus mencoba terus. Suatu saat, pasti Papa bisa juga!”

Maka tahulah aku. Ternyata Zalbak tak lain dan tak bukan lelaki impotent. Betapa murkanya apabila kuingat betapa tololnya aku telah memakai tubuh rombeng Zalbak. Seharusnya aku telah merasakan kenikmatan puncak yang pernah di anugerahkan Tuhan kepada makhluk manusia, ternyata aku gagal, Sialan. Tanpa sadar, aku menangis. Bukan karena sedih, namun aku tak dapat menahan gejolak kemurkaan dalam dada.

“Tidak apa-apa, Pa…….!” rajuk Donyanyin. “Sekarang Papa tidur saja. Aku mau memeriksa rumah sepeninggalku!” Donyanyin menarik selimut. Membalut sekujur tubuhnya. Tak lama ia meninggalkan aku terkapar di kamar itu. Sepeninggal perempuan itu, aku tak bisa lagi mengendalikan kemurkaan. Aku menjerit dan meraung sehebat-hebatnya.

Orang-orang berlarian ke kamarku. Namun, aku keburu menyuruh mereka pergi. “Pergi, pergi, pergi kalian semua!” Hardikku dengan badan masih telanjang bulat. Aku tak peduli. “Enya kalian……..!” Mereka tak juga mau pergi. Mereka menatapku seakan-akan baru hari itu, mereka menyaksikan sesuatu yang menarik perhatian.

“Pergi, pergi, apa yang kalian lihat, hah …………!” Aku berdiri di atas ranjang. Bertelanjang bulat. mengusir mereka. “Enyah, keparat!” Satu persatu mereka beringsut pergi. Beberapa lama kemudian, kupanggil kepala pelayan. Dengan mirip tikus ketakutan, orang itu datang tergopoh-gopoh.

“Ada apa, Tuan?” bibirnya bergetar. “Kalau kau ingin melakukan tugas terbaik hari ini, maka lakukanlah perintahku ini: Usirlah orang-orang dungu itu dari rumah ini!” Orang-orang itu nampak kebingungan. Bibirnya semakin gemetar dan wajahnya mulai tampak berkeringat dan pucat.

“Tetapi, itu mustahil, Tuan,”katanya parau. “Bukankah mereka sanak -saudara Tuan sendiri!”
“Tidak peduli mereka sanak saudarku atau sanak saudara anjing kudisan, suruh mereka segera angkat kaki hari ini juga!” teriakku menggelegar. “Kalau tidak, kau sendiri yang kutamatkan riwayatmu detik ini !” “Baik, baik, baik, Tuan….!” Orang itu langsung pergi sambil berlari-lari, seperti anjing di tendang pantatnya.

* * * * *


Moluska.

Setelah peristiwa dengan Donyanyin terjadi, aku bagaikan disurutkan ke ceruk kemurkaan dan kehinaan. Tak pernah abad demi abad, aku mengalami kegelisahan. Segala kepahitan takdir ku reguk
dengan rakusnya. Kini aku sangat nervous sekali.

Sejak saat itu, tak seorangpun kuizinkan mengusikku. Pintu kamar ku kunci rapat. Bahkan istriku maksudku istri Zalbak — yang mengetuk pintu, juga tak kuhiraukan. “Papa sayang, bukalah pintu……!” rayunya dari balik pintu. Aku diam.


“Papa cintaku, biarkanlah aku masuk……..!” perempuan itu mulai bertingkah. Ia menggosok-gosokkan tubuhnya ke daun pintu. Mulutnya mengeluarkan erangan macam kucing birahi. “Bukalah, Papa!” Kulirik sebuah vas buang di sudut ruangan. “Papa buah hatiku, ayolah kita bercinta lagi….!”

Tanpa pikir lagi kulemparkan vas keramik cina itu ke pintu. Terdengar suara ribut vas bunga yang menghantam daun pintu. Bersamaan dengan itu, ku dengar Donyanyin menjerit histeris. “Pergilah kau perempuan lacur!” umpatku murka. Donyanyin berhenti menjerit. Ia diam. Aku tahu, ia pasti terkejut mendengar umpatan kotor yang ku lontarkan.

Tak lama kemudian, ku dengar ia mengisak. Donyanyin menangis. Samar-samar ku dengar langkahnya meninggalkan kamarku. Bagai habis di himpit batu karang. Kini aku merasa lega. Sungguh mendatangkan perasaan sial saja perempuan itu.

Aku tetap gelisah. Berjalan kian kemari dalam kamar. Dalam kesendirian itu, tiba-tiba aku memikirkan kembali maksud dan tujuanku semula turun ke bumi manusia. Pada saat itu pula, aku ingin mengetahui lebih detail musuh yang hendak ku hadapi.


” Karya Herly Sauri “

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment