Part - 15
Tanpa ragu-ragu Morgin langsung memanggul tubuhku kembali. Ia berjalan mengekor di belakang Domokus.
Rumah kediaman Domokus
Rumah Domokus sungguh menarik. bangunannya besar dan artistik. Namun seluruh bangunan terdiri dari atas anyaman bambu alias gedhek. Di kelilingi aneka bunga. Dan bermacam-macam jenis anggrek tampak bergantungan di mana-mana. Keadaan rumah itu tampak sepi.
“Letakkan dia di ruang tengah!”
Morgin langsung melaksanakan perintahnya. Aku di rebahkan di sebuah tikar pandan di tengah-tengah ruangan. Seketika aku menangkap aroma kemenyan dan kayu cendana di seantero ruangan itu. Tanpa di suruh lagi Morgin keluar. Sedangkan Domokus langsung lenyap ke balik pintu menuju ke belakang rumah.
Tak beberapa lama, terdengar bunyi kecipak air. Tak bisa tidak, Domokus sedang mandi. ketika muncul kembali, ia tampak rapi sekali.
Dalam pakaian serba putih, Domokus kelihatan tak terlampau tua sebagaimana aku lihat tadi. Bahkan ia tampak lebih arif daripada terkesan garang dan sangar seperti sebelumnya.
Tanpa berkata-kata sepatah pun, ia menutup daun jendela dan pintu. Kemudian ia duduk diujung lain hamparan tikar pandan itu. Ruang tengah itu kini menjadi remang-remang. Karena tak seberkas sinar pun dapat masuk, kecuali dari sela-sela bubungan yang terbentuk joglo.
“Bangunlah kau, Zalbak,” ucapnya datar. “Duduklah dengan baik!”
Bagaikan terkena aliran listrik, tiba-tiba aku bangkit dengan sendirinya. Tanpa merasa sakit apa pun. Aku duduk berhadapan.
Domokus tak kunjung bicara lagi. Ia berdiam diri lagi. Matanya terpejam seperti orang yang sedang melakukan semedi.
Aku terus mengamatinya dengan penuh tanda tanya. Bagaimana mungkin orang yang menunjukkan kecerdasan istimewa seperti dirinya, telah dengan suka rela menghambakan diri kepada kekuatan kegelapan. Dengan prangsangka memiliki kekuatan istimewa, ia tak menyadari dirinya dikendalikan salah satu anak buahku. Segala keistimewaan indera keenamnya sesungguhnya telah menjadi alat Jin Iffrit.
Apakah benar juga anggapan bahwasannya manusia itu adalah sebuah pribadi yang tak pernah puas. Sehingga sepanjang hidupnya hanya dipenuhi kegalauan dan pencarian. Mencari kesempurnaan dalam hidupnya. Sesuatu yang musykil sekali dicapai. Bahkan mereka yang menganggap dirinya yang telah mencapai titik kesempurnaan itu, berani mencampakkan eksistensi di luar dirinya.
Termasuk yang lebih Maha Tinggi. Tuhan! Saking keblinger-nya, ada juga manusia yang sampai memproklamirkan diri sebagai Tuhan. Sesungguhnya sangat kurang ajar sekali makhluk tanah liat itu.
Ruangan itu tetap di bungkus kesenyapan sempurna. Domokus masih berdiam diri. Ruangan itu tampak semakin kusam dan muram. Karena keremangan itu, kulihat sesuatu yang bergerak dari tubuh Domokus. Asap itu melayang ke sudut yang paling gelap. Aku mencoba menembus keremangan ruangan itu. Asap itu semakin lama semakin membentuk sebuah figur.
Jin Iffrit
“Selamat datang, wahai Raja dari segala kegelapan!” terdengar deram-deram seperti suara yang keluar dari sebuah mesin diesel.
Mendengar suaranya, kembali aku terkejut. Aku mengenal suara itu semenjak ribuan tahun berselang. Anehnya lagi, sesuatu yang kini sedang menatapku tajam, mengenal jati diriku yang sebenarnya.
Ketika sesuatu itu bergerak, seberkas sinar sekejab menerpa wajahnya. Maka, serta-merta kemurkaanku meledak kembali.
“Bersujudlah kau, Jin Iffrit!” teriakku menggelegar. “Akulah rajamu!”
Jin Iffrit keluar dari kegelapan itu. Kemudian ia berjalan hilir-mudik di ruangan itu. Tampak Jin Iffrit memakai pakaian gemerlap. Bagaikan laga-di-raja. Bulu-bulu sayapnya mengkilat dan tampak baru.
Sejurus Jin Ifrit menatapku dengan sinis dan pongah.
“Sekali lagi, kuperintahkan kau bersujud!” hardikku kesal dan marah. “Lakukan!”
Kini dia tak sekedar tersenyum pongah. Namun ia tertawa terbahak-bahak.
“Hentikan dulu kesombonganmu untuk diperlakukan sebagai raja di tanah Adam ini, Iblis!”
katanya menyindir. “Di bumi setiap makhluk adalah raja bagi dirinya sendiri!”
Kemurkaan menggelegak di dada. Bagaimana mungkin sekarang raja di tantang oleh anak buahnya sendiri secara memalukan.
Aku menggertapkan geraham. Kemurkaan sudah mencapai puncaknya. Pelan-pelan kutanggalkan badan wadag Zalbak. Seperti layaknya melepaskan sebuah pakaian saja.
Jin Iffrit tampak cemas dan gugup. Dengan wujud asliku, ia tak mungkin bisa berbuat seenaknya. Dengan kecepatan melebihi kilat, ku tangkap batang lehernya. Kuplintir sekuat tenaga. Tak ayal lagi, kepala Jin mbalelo itu menjadi kincir seperti barang mainan anak-anak.
” Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment