'' BUKU HARIAN IBLIS '' (Part 14)

Part - 14

Sejak terjadinya kerja sama antara Domokus dan Jin Iffrit itu, Domokus mulai dikenal memeliki kemampuan melebihi manusia kebanyakkan. Dari orang-orang yang paling awam sampai pejabat-pejabat berdatangan meminta restu dan petunjuk kepadanya.


Morgin pernah bercerita, bahwa suatu hari Domokus di lecehkan oleh seorang pejabat. Maka pada saat itu pula, Domokus memperlihatkan kelebihannya.

Domokus menunjukan kekuatan supranaturalnya

Dia mengarahkan jari telunjuknya ke arah sebatang pohon kates dari kejauhan. Buah kates yang lebat langsung berjatuhan. Akh, ulah semacam itu bukan hal aneh bagi duniaku. Kemampuan memindahkan objek berdasarkan konsentrasi pikiran.


Itulah salah satu kelebihan konsentrasi dari otak. Kemampuan telekenetik !
Pejabat orang-orang yang menyaksikan kehebatan Domokus, menjadi takjub. Tak puas dengan itu, Domokus menyuruh seseorang membelah buah kates itu. Apa yang kemudian terjadi?

Orang yang di suruh membelah buah kates itu terkejut bukan main. Karena di dalam buah kates itu berlompatan ular-ular sebesar ibu jari. Dan ular-ular itu langsung mengejar dan menyerang pejabat itu. Tentu saja membuatnya ketakutan setengah mati. Pejabat itu lari menyembah-nyembah dikaki Domokus minta di ampuni. Sejak saat itu, Domokus menjadi orang terkenal.



Ku lihat Morgin menunduk taksim dan langsung menyambar tangan Domokus. Morgin mencium tangan Domokus bagai perilaku seorang murid yang tunduk patuh terhadap gurunya.
Aku tetap berdiri tegak. Mana mungkin aku harus patuh pada Domokus. Sedangkan pada Jin Iffrit saja aku tak sudi.


“Lho, Bos, mengapa tak menghormati Bapak Guru?” tegur Morgin dengan nada cemas.


“Emoh aku!” sahutku tak sabar.

Morgin menghampiri dan berbisik ketelingaku.

“Apa susahnya mencium tangannya, Bos, “bibirnya menyentuh daun telinga, membuat aku kegelian. Sialan bau kentut lagi. “Ayolah, Bos ………!”

“Aku emoh kok!”


Kulihat Domokus menatapku tajam. Rupanya ia mulai merasa sikap kekurangajaranku. Kedua tangannya bersedekap. Dari sorot matanya, kutangkap kepongahan. Dengan pakaiannya yang serba hitam, wajahnya semakin bertambah garang dan sangar!


Morgin tampak serba salah. Ia menatapku dan Domokus bergantian.


“Morgin!” Domokus tetap menatapku nyalang, “minggirlah kau. Rupanya temanmu itu meminta pelajaran tatakrama sopan santun!”


“Guru, “Morgin tergagap. “Dia adalah Bos saya, Guru!”

“Morgin, minggirlah!”

“Tetapi……..!”


Belum sempat Morgin melanjutkan kata-katanya. Kaki Domokus bergerak cepat. Tiba-tiba Morgin merasa dadanya di hantam sebuah kekuatan yang amat dahsyat. Tubuhnya terpental beberapa meter. Kemudian tubuhnya menghantam rumpun pohon pisang hingga bertumbangan. Morgin pingsan seketika itu juga. Dadanya bagaikan tak berdegup lagi. Napasnya terasa putus.


Aku tertawa pelan.


“Rupanya kau memang perlu di ajari tatakrama!” Domokus mengertapkan gerahamnya.
Aku tetap tertawa.

Domokus semakin tajam menatapku.

Dapat di pastikan api kemurkaan paling tidak telah memuncak di dadanya. Anehnya, Domokus tetap diam.

Namun ternyata dugaanku keliru. Dalam sikap diamnya ternyata Domokus menyerangku. Sorot matanya seakan-akan sanggup mengirimkan hawa panas.



Angin kencang bertiup

Angin tiba-tiba menyebarkan hawa panas. Dan pucuk-pucuk kelapa bergoyang tertiup angin. Semakin lama angin semakin keras bertiup.


Aku tersentak. Semakin lama aku merasa udara sekitarku bagai bara api. Aku semula yang meremehkan kemampuan Domokus , menjadi terkesiap. Bagaimana mungkin ia sanggup menyiksaku dengan hawa panas……….? Ketika aku menyadari keadaanku sebagai manusia, keringat dingin mulai bercucuran. Kiranya badan wadagku sebagai manusia telah membatasi kemampuanku yang sebenarnya.


Sebagai makhluk yang di ciptakan dari inti api menjadi tak berarti apa-apa. Sungguh lemah sekali makhluk manusia itu, pikirku. Aku sekarang tak berdaya sama sekali menghadapi kunyuk satu itu! Sialan! Angin semakin keras bertiup. Pucuk-pucuk kelapa bagai penari gila. Bergoyang-goyang tak karuan. Alam sekitar di amuk angin beliung. Andaikan aku tak sedang memakai wadag Zalbak, barangkali aku sudah semenjak tadi memuntir kepala Domokus menjadi kincir angin. Namun yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Aku justru menjadi bulan-bulanan kekuatannya. Sialan, sialan, sialan…….!


Tak puas menghantamku dengan kekuatan hawa panas, tiba-tiba Domokus berteriak menggelegar. Tiba-tiba aku bagaikan terbetot oleh sebuah kekuatan maha dahsyat. Tubuhku tak dapat kukuasai lagi, melayang ke arah Domokus. Sebuah tendangan keras menghantam uluh hati. Sialan, Napasku bagaikan terhenti seketika. Kemudian, tubuhku terpental dan meluncur ke tengah-tengah kebun singkong dan nenas. Pohon singkong dan nenas bertebaran terkena hempasan tubuhku. Aku mengaduh kesakitan. Kemurkaan yang tak terpalang besarnya yang membakar dada. Bagaimana mungkin aku sebagai makhluk api menjadi tak berdaya menghadapi kunyuk macam Domokus. Buntut Celeng!



Di tengah-tengah kebun singkong dan nenas yang porak-poranda , aku mengerang dahsyat. Menumpahkan segenap kemurkaan yang membakar dadaku.


“Domokus sialan………..!” umpatku murka, ”tunggulah pembalasanku. Akan kubikin kau daging giling!”
Aku harus membalas kekurangajarannya. Sekaligus memberikan hajaran kepada yang bersembunyi di balik kekuatannya Jin Iffrit sialan itu. Aku segera menerabas kerimbunan pohon-pohon singkong yang setinggi kepala. Namun sebelum aku keluar dari kebun itu, tiba-tiba muncul Morgin di hadapanku. Kiranya sudah sadar orang dogol itu.


“Sudah aku katakan, Bos jangan kurang ajar pada Bapak Guru, “katanya bersungut-sungut. “Nah, sekarang Bos merasakan sendiri buktinya toh. Bos di lemparkan di tengah-tengah kebun singkong!”
“Aku tak butuh nasehatmu, sekarang kau minggir!”

“Sadar, sadar, Bos……..!” Morgin menghalangi langkahku dengan mencengkeram lengan. “Bos tak boleh kurang ajar lagi kepada Guru!”


“Lepaskan tanganku, Buduk!” Semprotku dongok dengan sikap tengiknya. Biar ku lumat Guru sialan itu!”


“Bos jangan berbuat yang bukan-bukan kepada Bapak Guru, “ia bertambah cemas. “Dia bukan orang sembarangan!”

“Aku tak peduli!”

“Wah, Bos ini rupanya tak tahu diri!” ucapnya dengan nada kesal. “Kalau Bos masih juga ngotot, kuhajar sendiri saja sekalian!”


“Memangnya kau berani……..?” aku terbeliak kaget. Tak nyana anak buahku sendiri justru berbalik mengancam. Tentu saja aku menjadi dongok sekali. “Lakukan kalau ada nyali!”


“Mengapa tidak. Habis Bos sendiri kurang ajar kepada Bapak Guru,” sahutnya dingin. “Daripada babak belur dihajar Bapak Guru, lebih baik merasakan kepalan tanganku saja”.


Tanpa banyak cakap lagi, Morgin ternyata membuktikan ucapannya. Berkali-kali aku berusaha memberi perlawanan, ternyata kemampuanku memang amblas entah ke mana. Keperkasaanku sebagai makhluk api telah di kungkung kemampuan sebagai manusia biasa. Badan wadagku sebagai Zalbak benar-benar sanggup memberangus segala keperkasaanku yang pernah menggetarkan seluruh peta jagad raya. Kini, aku kembali menjadi bulan-bulanan orang semacam Morgin. Kiamat, kiamat, kiamat!



Setelah puas menghajarku, Morgin langsung menggotong tubuhku yang telah lunglai. Meretas kerimbunan pohon singkong.


Di luar ternyata Domokus telah menunggu sambil berkacak pinggang. Morgin merebahkan tubuhku tepat di bawah kaki Domokus.

“Maafkanlah Bos……….!” kata Morgin menyembah-nyembah dengan memuakkan. “Memang akhir-akhir ini, Bos kurang sehat keadaannya”.


Domokus diam. Hanya matanya terus menatapku dengan tajam. Aku membuang muka. Aku tak mau ia menatap langsung keceruk mataku. Karena bagaimana pun mata adalah cermin dari pintu hati. Aku tak mau Domokus mengetahui jati diriku sebenarnya. Biarlah ia tetap menganggapku sebagai Zalbak saja.
Ketika hendak bangkit berdiri, aku merasakan seluruh tulang-belulang persendian sakit bukan main. Kiranya Morgin cukup sempurna menggarapku. Sialan orang itu, tunggulah pembalasanku nanti.

“Morgin!” ucap Domokus, “bawa Bosmu itu ke dalam pondok!”




” Karya Herly Sauri “

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment