Part - 8
GENESIS
“Wah, terima kasih kalau begitu!” sahutku sambil menepuk telapak tangan dokter setengah baya itu. “Namun, percayalah aku tak apa-apa!”
sekilas kulihat sorot mata seperti menyelidiki dari dokter Admon. Tergurat pancaran kekecewaan dan curiga.
“Tetapi aku merasa ada sesuatu yang asing dengan keadaan Pak Zalbak!” katanya tak terduga.
“Maksudmu, Dok?” aku terkesiap.
“Aku yakin ada yang tak beres dengan Bapak!” katanya mantap. Untuk menutupi kegugupan, aku tertawa terbahak-bahak. Dan tanganku kembali menepuk-nepuk tangan dokter itu.
“Baiklah, baiklah, Dok!” kataku sambil tersenyum. “Aku akan melaksanakan nasehat itu!”
Zalbak
Dalam sekejab seluruh sanak keluarga Zalbak berdatangan. Tak dapat kubayangkan, betapa banyaknya anggota keluarganya. Atau barangkali yang berdatangan membesuk itu tak semuanya dalam pengertian keluarga dekat. Tak mustahil kebanyakan dari mereka hanya keluarga jauh. atau sangat jauh, bahkan hanya mengaku-aku keluarga saja. Dan itu bisa di maklumi, bagaimanapun Zalbak yang mereka besuk terhitung orang kaya. Ibarat gula, maka semut-semut pun berdatangan.
Untungnya rumah mewah yang ku pakai sebagai rumah istirahat itu cukup luas. Maka sekian banyak anggota keluarga dapat leluasa berkeliaran. Beberapa kolega dan orang-orang asing berdatangan silih berganti.
Dari sekian banyak yang lalu lalang di depan mata itu, tak kutemukan orang yang kucari. Orang yang telah berhasil membuatku turun kembali ke bumi manusia.
Apakah memang betul omongan setan-setan terkutuk itu, pikirku dongok, bahwa orang yang satu itu mempunyai keistimewaan? Apa bukan karena ulah rasa iri hati mereka sendiri melihatku tenang-tenang saja duduk di singgasana. Brengsek benar! Mereka tak senang melihatku menikmati sisa usiaku.
Tiba-tiba seorang pelayan datang tergopoh-gopoh. “Nyonya besar telah datang, Tuan!” katanya penuh basa-basi sopan santun.
Ada perasaan berdesir dalam dada. Sudah tiga hari semenjak aku harus beristirahat, perempuan satu ini tak muncul sedikitpun. “Datang dari mana?” tanyakku. Pelayan dan sanak keluarga yang ada di kamar itu saling pandang. Seakan-akan pertanyaanku terdengar ganjil. Bagaimana mungkin aku tak mengetahui di mana perginya istri. Aku menyadari kekeliruan itu. Sialan bener, umpatku dalam hati. Sejak jadi manusia aku telah beberapa kali melakukan kesalahan.Bagaimana terjadi kesepakatan diam-diam, orang-orang yang sejak pagi menungguku, keluar secara serentak. Aku menghela nafas lega. Kiranya berada di tengah-tengah kerumunan manusia membuat nafas sesak juga.
Doyanyin
Dari tempatku terbaring terdengar langkah-langkah ringan di ruang tamu. Hentakan sepatu tingginya terdengar sangat rancak sekali. Menandakan kelincahan sang empunya sepatu. Langkah-langkah ringan itu terhenti di ruang tengah . Kemudian hentakan sepatu hak tinggi itu menuju ke arah kamarku. Tak mungkin salah, dialah istri Zalbak. Doyanyin. Dadaku semakin berdebar tak karuan. Bagaimana jadinya nanti pertemuanku dengan perempuan itu?
Pandanganku tajam menatap pintu kamar. Sungguh kedatangannya membuatku berdebar. Langkah Donyanyi berhenti tepat di depan pintu kamar. Kemudian, terdengar ketukan halus pada daun pintu.
“Masuk!” Pelan-pelan daun pintu terkuat. Seorang perempuan muda masuk. Berpakaian serba hitam. Rambutnya yang hitam di sanggul tinggi.
Memperlihatkan lehernya yang putih dan jenjang. Walaupun setan-setan keparat itu telah memberikan gambaran yang cukup detail tentang perempuan ini, tak dapat ku pungkiri ternyata aku berdebar juga. Ia bagaikan magnet. Semula aku memperkirakan istri Zalbak sangat modern dan mewah dengan berbagai hiasan seperti ornamen lampu. Ternyata ia bernampilan konservatif. Blusnya dengan model sederhana, walaupun bahannya jelas mahal. Ia tampak bersahaja, sekaligus anggun.
“Maaf sayang!” bisiknya sambil mencium pipiku, “aku terlambat datang!”
Dari sekujur tubuhnya meruap semerbak wewangian. Memabukkan sekaligus menghanyutkan. Namun seketika itu juga, perempuan itu meruapkan seribu pengkhianatan dan penyelewengan. Ya, perempuan itu sungguh rapi menyembunyikan watak selingkuhnya di balik penampilan lahiriahnya yang konservatif dan cenderung bersahaja. Tak sadar aku tersenyum.
“Mengapa Papa tersenyum?” tanya Donyanyin.
“Akh, aku senang kau datang!” sahutku sambil menariknya ke pelukkanku. “Bagaimana perjalananmu? menyenangkan?”
Doyanyin membalas pelukanku. Setelah itu, secara bertubi-tubi menciumku dengan gencar. Dan tangannya merayap ke dalam selimut. Namun secepat itu juga, tangannya ku tangkap. Timbul kecemasanku. Aku khawatir di bawah selangkanganku tanpa kelamin. Karena aku sebagai makhluk yang di ciptakan dari inti api di takdirkan tanpa jenis kelamin. Namun, keistimewaan makhluk seperti …
“Karya Herly Sauri “
0 comments:
Post a Comment