Part - 16
“Sekarang, “hardikku menggelegar, “bersujud kau!”
Tanpa di perintah untuk kedua kalinya, Jin nahas itu langsung membenturkan jidatnya ke lantai. Memberikan sujud penghormatan kepada rajanya.
“Duduk dan dengarkan aku!”
Jin menyembah Iblis
“Oke, Bos!”
“Kampret!” aku betul-betul muak dengan sahutannya itu. “Kalau kau menyahut dengan basa-basi, kuinjak kepalamu!”
“Ok, Bos!”
“Sialan tiga belas!” tanpa basa-basi lagi, segera kuinjak kepalanya. “Mampuslah kau dengan okey, Bos-mu itu!”
“Okey, Bos!”
Dasar ia makhluk halus, sebentar saja ku lumarkan kepalanya sudah utuh seperti sedia kala. Maka, aku hanya dapat mengelus dada karena di rasuki kemarahan yang amat sangat.
“Baiklah, sekehendakmu, “kataku putus asa. “Sekarang dengar perkataanku!”
“Okey……..!”
Aku diam beberapa saat lamanya. Mengelus dada menyabarkan diri atas ketengikan anak buahku itu.
“Aku turun kembali ke bumi, tak lain dan tak bukan karena desakan anak-anak cucuku. Setelah masa demi masa berlalu, dari satu generasi ke generasi, mereka mulai melecehkan kemampuanku. Tiba-tiba mereka mengajukan seorang anak manusia untuk kutaklukkan. Mereka ingin bukti, apakah aku masih mempunyai kemampuan seperti dahulu.”
“Kalau boleh aku berpendapat ………..?” tiba-tiba Jin Iffrit menyela. “Bolehkah, Bos…..?”
“Baik katakanlah!”
“Barangkali mereka tak dapat terlalu disalahkan.”
“Mengapa kau berpendapat begitu?” aku penasaran.
“Barangkali sampai detik ini, Bos masih mempunyai asumsi klasik, bahwa generasi terdahulu lebih baik ketimbang generasi sebelumnya. Dengan dasar generasi terdahulu lebih dekat kepada pembawa risalah kebenaran. Yaitu Nabi dan agamanya.”
“Sedangkan pada kenyataannya justru sebaliknya. Di setiap zaman, tantangan hidup manusia berbeda-beda. Semakin lama corak hidup kebudayaan manusia semakin berkembang dengan pesat. Tentu saja tingkat godaan dan tantangan pun semakin banyak. “Maka berlaku ketentuan manusia yang baik di zaman sekarang, betul-betul melewati ujian dan godaan yang sangat besar.”
Aku menganggu-angguk. Walaupun dalam hati masih terdapat ganjalan.
“Jin Iffrit, ”kataku kemudian setelah lama merenung. “Barangkali kau benar. Karena aku memang sudah lama tak turun ke bumi. Sedangkan senantiasa berdekatan dengan denyut jantung kehidupan manusia. Maka secara sesiologi, kaulah ahlinya.”
Jin Iffrit yang di puji merasa bangga.
“Ya, memang begitulah keadaan sebenarnya, Bos!” katanya sambil membusungkan dadanya. “Kalau tentang manusia, maka akulah pakarnya.”
Mendengar ucapan Jin Iffrit, aku tertawa terbahak-bahak. Dan Jin Iffrit menimpali tertawa meledak-ledak.
“Huaahahahahaha …..!”
“Huahahahhihihihhehehe ………….!”
Sekarang, cobalah kau jelaskan kehidupan manusia akhir zaman ini.”
Jin Iffrit tampak merenung. Keningnya berkerut. Menandakan ia tengah berpikir keras.
“Sesungguhnya zaman ini, merupakan zaman kegemilangan kemenangan kita, Jin Iffrit mulai menerangkan. “Zaman ini ibarat sebuah perusahaan. Manusia di demoralisasikan dalam waktu yang relative singkat sesingkat-singkatnya. Dan dalam jumlah yang tak terhingga banyaknya dengan harga yang semurah-murahnya.
“Kemajuan zaman, di satu sisi yang paling potensial justru menjauhkan makhluk manusia dengan penciptanya. Tuhan menjadi sesuatu yang sangat jauh dari kehidupan dari sebagian besar umat manusia. Tuhan menjadi sesuatu yang asing dan tersembunyi. Oleh karena itu, apabila mau jujur manusia akan mengatakan bahwa sebenarnya mereka tak tahu akan Tuhan, dan bahkan mereka tak tahu apakah mereka mempercayai-Nya. Kondisi ini tak lain tak bukan karena kehidupan manusia sepenuhnya di kuasai oleh satu rezim baru. Sebuah rezim yang sama sekali di luar perhitungan manusianya sendiri.”
“Aku terkejut. Rezim manakah yang sampai tuntas menguasai kehidupan manusia dengan sempurna. Jin Iffrit masih bungkam. Ia seakan-akan menimbang-nimbang kata-kata selanjutnya.
“Rezim apakah itu, Jin Iffrit?’ tanyaku tak sabar.
Jin Iffrit menyeringai. Seakan mengerti kecemasanku.
“Jangan khawatir. Rezim itu tak pernah mengancam kehidupan kita,” katanya sambil tersenyum. “Karena rezim itu kemajuan tehnologi!”
“Rezim teknik?”
“Ya. Tidak salah!”
Technology
Aku bungkam. Demikian juga Jin Iffrit. Kebisuan menjadi selubung antara aku dengannya. Aku memang tak menyangkal bahwa kemajuan - Katakan saja kemajuan tehnik - telah membawa perubahan-perubahan pada cara berpikir dan cara hidup manusia. Namun, aku sebagai pengembara zaman, telah banyak mengenyam asam garam keunikan makhluk tanah liat itu. Ya, manusia adalah sebuah pribadi penuh misteri. Barangkali ucapan Jin Iffrit benar dengan kursif relatif. Karena untuk sebagai manusia, masa lampaunya yang historis merupakan faktor dasar untuk melongok hidupnya hari ini dan masa depan.
Manusia, ya, manusia tak lain dan tak bukan adalah kunci misteri pengetahuan. Dalam diri manusia terdapat sesuatu yang sangat esential dan fundamental: kebesarannya, pengetahuaannya, dan daya ciptanya. Membuat ia menjadi makhluk yang senantiasa gelisah dan senantiasa mencari. Manusia adalah suatu pribadi yang hidup!
“Jin Iffrit, ” aku memandang wujud anak buahku itu dengan sorot mata tajam, “seharusnya aku menerima pendapatmu itu. Namun betapa logikaku mempunyai kutub yang berbeda dari yang kuinginkan.”
“Apa maksudmu, Bos?” ia tampak penasaran.
Aku merenung sebelum memberi jawaban.
“Dalam diri manusia yang kucemaskan, tak lain dan tak bukan: manusia itu identik dengan sebuah ketidaktentuan!”
“Mengapa demikian, Bos?”
” Karya Herly Sauri “